SELAMAT DATANG KAWAN

Merdeka !!!
Marhaen Jaya

Kawan-kawan seperjuangan dalam hidup, marilah kita selalu senantiasa bersyukur kepadaNYA yang telah memberikan nikmat sehat, sehingga mampu berkarya demi keutamaan sebagai manusia yang mampu memberikan manfaat bagi sesama.

Untuk itu, kita sebagai kader bangsa harus senantiasa ingat & melaksanakan ajaran Bung Karno tentang faham :
Marhaenisme
– Sosio-Nasionalisme
Nasionalisme yang berperi-kemanusiaan.
– Sosio-Demokrasi
Demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan
keberesan ekonomi yang berke-Tuhan-an YME.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menuntun arah gerak kita guna mengawal 4 PILAR KEBANGSAAN (Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika).



KONFERDA I PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA PROVINSI BANTEN

KONFERDA I PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA PROVINSI BANTEN
HOTEL ABADI - SERANG, 25 MEI 2008

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KOTA TANGERANG SELATAN

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KOTA TANGERANG SELATAN
AULA KANTOR CAMAT CIPUTAT, 29 NOVEMBER 2009

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KAB. TANGERANG

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KAB. TANGERANG
CITRA RAYA-CIKUPA, 22 FEBRUARI 2009

HUT PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KE-62

HUT PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KE-62
LOMBA KARYA TULIS PELAJAR SE-KAB. TANGERANG TGL 31 MEI 2009

LEADERSHIP CAMP FOR STUDENTS

LEADERSHIP CAMP FOR STUDENTS
CISOKA, 1-2 OKTOBER 2005

Kamis, 15 April 2010

NGAJI DIRI

Alhamdulillah di era tanpa batas, kita semua bisa semakin paham akan arti nilai2 Islam yang Universal yang bisa diimplementasikan di tengah-tengah kehidupan kita.


Mari coba kita renungkan bersama apakah kita semua sudah menjalankan tata laku NGAJI diri sesuai Al Qur'an & Hadist? Manusia di seluruh muka bumi ini rasanya kalau bisa NGAJI diri secara Kaffah tentunya akan terbangun Islam Rahmatan Lil Alamin. Dalam diri kita Manusia terdiri dari 9 lobang (2 lobang di mata, 2 lobang di hidung, 2 lobang di telinga, 1 lobang di mulut, 1 lobang di alat vital dan 1 lobang dubur).
Apakah kita akan mau menghayati dari 9 lobang tersebut, mata tentukan diberikan oleh Sang Khalik dipergunakan melihat yang baik-baik sehingga dengan kesejukan dan kearifan tatapan mata terpancar kedamaian. Kita sebagai hamba yang masih jauh dari kesempurnaan tentunya akan selalu menjaga tutur kata dengan tidak menimbulkan fitnah, penghasutan dan menjadi provokator di sekitar kita. Kalau hal ini bisa kita kendalikan tentunya tidak akan pernah kita lihat pertengkaran bahkan peperangan antar bangsa sebagai akibat ucapan sang pemimpin suatu kaum.
Dalam pandangan orang-orang Sufi mengakui bahwa pencarian makna utuh Tuhan mewujud dalam kehidupan alam dunia bisa kita katakan Tuhan itu Satu, Sendiri, Tunggal, Kekal, Abadi, Berpengetahuan, Berkuasa, Hidup, Mendengar, Melihat, Kuat, Kuasa, Agung, Besar, Dermawan, Pengampun, Bangga, Dahsyat, Tak Berkesudahan, Pertama, Tuhan, Rabb, Penguasa, Pemilik, Pengasih, Penyayang, Berkehendak, Berfirman, Mencipta, Menjaga.

Sebagai gambaran pencarian tentang ILAHI pernah dilakukan oleh Husain ibn Mansur al-Hallaj barangkali adalah syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: “Akulah Kebenaran”, ucapan mana yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodok, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid’ah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut.

Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, “Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, ‘Akulah Kebenaran’, padahal itu kata-kata Allah sendiri!”. Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, “Kata-kata ‘Akulah Kebenaran’ adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir’aun adalah kezaliman.”

Seperti digambarkan dalam kisah Dewa Ruci tentang Sosok Dewa Ruci dan Werkudara. Rupanya ada nasehat dan maksud yang ingin disampaikan yaitu :

jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu,
jangan menyuap sebelum mencicipnya.
tahu hanya berawal dari bertanya,
bisa berpangkal dari meniru,
sesuatu terwujud hanya dari tindakan.

Sang Khalik telah menciptkan ini semua kepada kita, tinggal mau atau tidak kita untuk NGAJI diri, bukan hanya sekedar membaca tapi coba untuk di kaji. Syekh Lemah Abang sebagai juga salah satu hamba ALLAH SWT yang mencari makna “ngaji diri” walau dianggap sangat kontroversi, tapi sebagian makna pencarian hidup telah banyak diikuti dengan tata laku layaknya manusia biasa. Ini hanyalah salah satu yang namanya manusia yang proses pencarian kepadaNYA sudah "terbukti" mampu ketemu denganNYA.

Salam damai dari empat penjuru mata angin
TOPARI

POLIGAMI DALAM GAMBARAN (Perbandingan dalam Hukum Perkawinan Indonesia dan Hukum Islam)*

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.


Adalah sebuah rangkaian kalimat yang teramat indah jika memang memang dapat terjadi seperti peruntukannya, yaitu keluarga yang bahagia dan kekal. Tidak ada suatu definisi yang pasti mengenai bahagia. Tiap orang memiliki definisi tersendiri mengenai bahagia itu, sehingga apabila bicara mengenai definisi bahagia saja, tidak akan ada habisnya, namun dalam penulisan makalah ini, hanya akan di ambil satu definisi saja yang kira-kira dapat menjadi sebuah rangkuman dari sekian banyak definisi tentang bahagia. Bahagia adalah apabila kita tidak merasa khawatir, tidak was-was, tidak sedih. Sedangkan "kekal" berarti tetap (tidak berubah, tidak bergeser, dan sebagainya); selama-lamanya; abadi; lestari.

Atas dasar kedua definisi yang merupakan tujuan perkawinan itu, penulis mencoba untuk menyimpulkan bahwa perkawinan dilaksanakan agar terjadi ikatan dimana kedua belah pihak yaitu baik pria maupun wanita merasa tidak khawatir, tidak was-was, tidak sedih untuk selama-lamanya. Tidak khawatir karena ikatan yang terjadi adalah ikatan yang legal menurut hukum dan agama masing-masing pihak, tidak was-was akan jalannya hubungan perkawinan dikemudian hari, tidak sedih akibat perilaku pasangan dalam hubungan perkawinan dan hal tersebut berlangsung selama hubungan perkawinan berlangsung.

Namun sebagaimana halnya roda kehidupan yang terus berputar, yang mengakibatkan kehidupan manusia berada diatas dan dibawah, hubungan perkawinanpun tidak selamanya selalu sesuai dengan kemauan orang-orang yang menjalankannya. Salah satu permasalahan yang timbul dalam hubungan perkawinan seperti yang saat ini tengah marak diperbincangkan, diperdebatkan, dicari solusi penyelesaiannya adalah Poligami.

Poligami adalah sebuah hubungan perkawinan, dimana seorang suami memiliki lebih dari satu orang istri.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), poligami menjadi suatu hal yang diatur dan diperbolehkan secara bersyarat. Pasal 4 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa: “Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”. Sedangkan dalam ayat (2) dikatakan: “Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.”

Untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan pun, seorang suami yang ingin melakukan poligami berkewajiban untuk memenuhi persyaratan yang juga diatur dalam undang-undang tersebut, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu ”adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.” Namun, persetujuan dimaksud ternyata dapat dikecualikan dengan adanya kondisi dimana jika isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Dewasa ini, dengan lahirnya gerakan-gerakan yang menamakan diri sebagai feminist, yaitu sebuah gerakan yang mengatasnamakan ’gender’ kewanitaan, persoalan poligami kembali mencuat kepermukaan. Dimulai sebagai akibat diluncurkannya ”award” bagi pelaku poligami yang dimotori oleh Bapak Puspowardhoyo, salah satu pengusaha restoran terkemuka di negeri ini, para feminist menggaungkan keberatan-keberatannya melalui berbagai wacana dan media.

Dalam sebuah artikel yang dibuat oleh Maria Ulfah Anshor, Ketua Umum PP Fatayat NU (2000-2004), Sekretaris Eksekutif Puan Amal Hayati, dikemukakan mengenai perlunya sanksi hukum dalam pengaturan poligami. Dikatakan bahwa saat ini terdapat tiga versi draf usulan perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masing-masing dibuat oleh Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kowani, dan LBH-Apik. Ketiga-tiganya menolak, setidaknya memperketat poligami, dengan argumentasi yang sama, yaitu poligami merupakan bentuk subordinasi laki-laki terhadap perempuan karena semata-mata didasarkan pada superioritas dan kepentingan laki-laki. Perempuan dalam hal ini selalu dalam posisi sebagai obyek, apakah dalam status sebagai istri pertama maupun kedua, dan seterusnya. Ketiganya juga menyimpulkan bahwa dalam UU Perkawinan masih terdapat banyak pasal yang harus disempurnakan karena tidak sesuai prinsip kesetaraan dan keadilan jender.

Mengenai persyaratan pengajuan permohonan poligami oleh suami kepada Pengadilan dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan pun dikomentari dalam artikel Maria Ulfah Anshor. Dikatakan bahwa kondisi yang disebutkan dalam pasal tersebut dapat terjadi pada suami maupun istri. Indikasi ketiga syarat tersebut harus jelas dan disertai pembuktian pihak berwenang seperti tim dokter ahli yang independen yang tidak berpihak, keputusan pengadilan yang ditandatangani pejabat pengadilan dan sebagainya. Tetapi, UU Perkawinan tidak mengatur bila ketentuan itu dilanggar suami maupun pihak pengadilan yang berkolusi dengan suami

Mengenai syarat lain poligami yang disebutkan dalam Pasal 5 UU Perkawinan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam makalah ini, dikatakan bahwa tolok ukurnya sangat sulit karena keperluan hidup seseorang, baik sebagai istri maupun anak- anak, terdiri atas dua komponen yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi dan nonmateri secara bersamaan. Begitu juga pengertian mampu, yang meliputi material dan nonmaterial. Selama ini, tolok ukurnya selalu menurut ukuran suami, bukan menurut ukuran dan perasaan istri, dan bukan pula kesepakatan kedua belah pihak.

Tidak ada yang bisa menjamin ketika suami gilir pada istri tua dia menghadirkan seluruh jiwa raga, pikiran, khayalan, dan perasaannya, bebas dari pengaruh istri mudanya. Sesuatu yang sangat tidak mungkin terjadi. Dalam hal ini Allah secara tegas mengatakan, "Dan tidaklah kamu sanggup berlaku adil kepada istri-istrimu sekalipun kamu sangat menghendakinya" (QS An-Nisa: 129). Terhadap pelanggaran pasal ini pun tidak diatur apa sanksinya.

LBH-Apik, yaitu sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang bantuan hukum untuk perempuan, mengusulkan praktik poligami dihapuskan sama sekali karena bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM, UU No 1/1984, GBHN 1999, dan Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Konsekuensinya Pasal 3 Ayat 2 dihapuskan, begitu juga Pasal 4 dan 5. Sementara Kowani mengusulkan untuk mempersulit praktik poligami melalui pasal-pasal tersebut dengan menambahkan persetujuan tertulis dari istri dan anak-anaknya yang telah dewasa yang dibuat di hadapan pejabat pengadilan. Suami menjamin tidak menceraikan istri pertama kecuali atas permintaan yang bersangkutan dengan tetap mendapat tunjangan hidup dari suami sampai si istri menikah lagi. Dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan memperketat praktik poligami melalui Pasal 4 dengan menambahkan syarat harus dengan keterangan dokter ahli.

Pasal lain yang perlu disempurnakan adalah Pasal 2 Ayat 2: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku". Pengertiannya, semua perkawinan yang memenuhi syarat sesuai peraturan perundangan harus dicatat pihak berwenang. Bila tidak, secara hukum perkawinannya tidak sah dan pelakunya wajib dikenai sanksi. Persoalannya, sekali lagi, UU Perkawinan tidak mencantumkan sanksi.

Selanjutnya dikatakan bahwa kondisi-kondisi mengenai poligami seharusnya tidak dimasukkan dalam Bab I Dasar Perkawinan karena poligami bukan prinsip dasar perkawinan maupun prinsip dasar syar’iyyah. Poligami sebagai pengecualian yang amat sangat darurat dan harus diatur dalam pasal tersendiri lengkap dengan sanksi hukumnya.

Sedangkan permasalahan poligami dalam sudut pandang hukum Islam, seringkali menimbulkan pro dan kontra, dimana kedua pihak masing-masing sama-sama memiliki dalil dalam mengedepankan pendapatnya. Dalam penulisan makalah ini, penulis hanya akan mencoba merangkum dari beberapa pendapat yang telah dipublikasi, dikemukakan dan bahwa dijadikan alasan pembenar oleh kedua belah pihak.

Faqihuddin Abdul Kodir, seorang Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah, dalam artikel yang di tulis pada sebuah website mengatakan UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).

DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).

Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".

Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?

Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".

Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi’i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami’ al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.

Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.

Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.

Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.

Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.

Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.

Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.

Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri.

Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini).

Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.

Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).

Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.

Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.

Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain." (Jâmi’a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah".

Pendapat lainnya dikemukakan oleh Jamal Ma’mur Asmani, pengurus harian Robithoh Ma’ahid Islamiyah Cabang Pati, direktur Perpustakaan Al-Hikmah Pati. Dikatakan bahwa Alquran mengakomodasi budaya yang berkembang waktu itu, karena poligami sudah mendarah daging bagi kalangan Arab, sehingga tidak mungkin Alquran langsung mengharamkannya. Alquran sekadar membatasi maksimal 4 perempuan. Pembatasan ini adalah kompromi ideologis-pragmatis.

Mengawali pendapatnya dari kasus poligami oleh Aa Gym dengan janda Alfarini Eridani yang mengundang kontroversi, Jamal Ma’mur mengatakan, bahwa sebagai seorang public figure, ustad kondang itu tentu menyadari implikasi sosial-politis pilihannya. Mayoritas wanita menyayangkan tokoh sekaliber Aa Gym yang begitu romantis, humoris, setia, dan ramah dengan istri dan jutaan penggemarnya, harus melakukan poligami, yang walaupun halal, tapi tetap menyakitkan bagi kaum perempuan.

Publik terbelah, antara mendukung dan menolak, sekaligus menyesalinya. Yang mendukung memberikan argumentasi kebolehan (kehalalan) poligami, apalagi kalau dengan tujuan menolong janda dan anak yatim yang terlantar sisi ekonomi dan pendidikannya.

Yang menolak dan menyesali, berargumen dari kacamata psikologis-sosial-agama, bahwa poligami Aa Gym sangat menyakitkan perasaan istri pertamanya yang begitu setia mendampinginya dalam suka dan duka, menyebabkan berkurangnya antusiasme jamaah pengajian Aa Gym yang kebanyakan wanita. Mereka umumnya memandang poligami sebagai sesuatu yang menodai ikatan cinta suci. Juga mempertanyakan sejauhmana kemampuan Aa Gym berbuat adil kepada kedua istrinya sebagai syarat mutlak yang diperintahkan Alquran.

Lebih jauh Jamal Ma’mur mengatakan bahwa Islam memperbolehkan poligami asalkan mampu berbuat adil kepada istri, baik dalam hal ekonomi, tempat tinggal, pakaian, perhatian, pendidikan, giliran, dan lain sebagainya. Teks Alquran yang membenarkan poligami ini adalah QS. Al-Nisa : 3 yang berbunyi: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Allah SWT juga mengingatkan kepada laki-laki yang berpoligami agar bersungguh-sungguh dan berhati-hati dalam menegakkan keadilan yang sulit untuk diwujudkan, tapi harus dilaksanakan: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS.Al-Nisa :129)

Kedua ayat yang menjadi pijakan hukum poligami ini menjadi perdebatan sengit para ulama dan intelektual. Dalam berbagai kitab tafsir, misalnya tafsir Al-Murah al-Labib al-Munir karangan Imam Nawawi al-Bantani yang populer di kalangan pesantren (Juz 1:139) dan Imam Al-Thobari dalam kitabnya Al-Jami’ li bayani wa Ta’wili Ayatil Qur’an, Vol. 0 Beirut 1988:231-236, menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut, yaitu riwayat Aisyah, bahwa ada laki-laki yang ingin menikahi anak perempuan yatim karena kekayaannya, bukan karena ia mencintainya dan ingin mendidiknya, tapi demi mendapatkan harta kekayaannya, dan ia ingin menikahi tanpa mas kawin (mahar), tapi langsung dinikahi, supaya hartanya bisa dikuasai, dan ia pun tidak ingin memperlakukannya dengan dasar cinta-kasih, tapi dengan cara yang jelek, supaya cepat mati, dan hartanya diambil semua.

Alquran turun untuk mencegah maksud jahat laki-laki tersebut. Ia dipersilakan mencari wanita lain yang baik buatnya, maksimal 4 orang dengan syarat, adalah (adil). Kalau tidak mampu adil, cukup satu saja.

Dan berbuat adil kepada istri lebih dari satu adalah sesuatu yang sulit dilakukan, walaupun begitu, Allah tetap mentolerir, asalkan tidak ditampakkan secara terang-terangan yang membuat istri yang lain cemburu, sakit hati, dan menggantung hati dan perasaannya (antara mempunyai suami dan tidak-al-mu’allaqoh).

Hal ini menguatkan pernyataan di atas, yakni kehalalan poligami dengan syarat berbuat adil, begitu juga dalam kitab Tafsir Jalalain, dan tafsir-tafsir yang lain.

Sedangkan para cendekiawan kontemporer semisal Aminah Wadud, Asghar Ali Enggener, Fazlur Rahman, Moh. Syahrur, Moh. Ali Syad dan lain-lain kurang sependapat dengan tersebut di atas. Menurut mereka, poligami adalah sesuatu yang dilarang Alquran, karena dengan jelas Alquran menerangkan wajibnya berbuat adil, sedangkan hal itu tidak mungkin dilakukan. Asas Alquran adalah monogami.

Menurut Asghar Ali Enggener, pemikir radikal dari India, secara idiologis, Alquran melarang poligami, namun secara pragmatis Alquran mengakomodasi budaya yang berkembang waktu itu, karena poligami sudah mendarah daging bagi kalangan Arab, sehingga tidak mungkin Alquran langsung mengharamkannya.

Alquran sekadar membatasi maksimal 4 perempuan. Pembatasan ini adalah kompromi ideologis-pragmatis. Fazlur Rahman, pemikir neo-modernis dari Afghanistan yang hijrah ke AS, mengutip mufassir Maulana Malik Utsmani, mengatakan, ayat yang memperbolehkan poligami itu konteksnya untuk menjaga harta anak yatim, bukan yang lain. Jadi kalau mau poligami harus kepada anak yatim dengan tujuan melindungi hartanya agar tidak dimakan orang lain yang tidak bertanggung jawab.

Aminah Wadud, pemikir dan aktivis gender muslim di AS, menganalisis argumentasi laki-laki yang biasa melakukan poligami. Pertama, karena faktor ekonomi, hal ini tidak memperhatikan keadilan sosial dalam Islam. Wanita hanya menjadi beban finansial, sedangkan sekarang banyak wanita yang produktif dengan gaji yang tinggi.

Kedua, faktor kemandulan. Faktor ini tidak pernah disinggung Alquran. Justru ini kesempatan bagi pasangan suami-istri untuk mengambil anak yatim sebagai anak angkatnya, agar tumbuh normal sebagaimana anak pada umumnya. Ketiga, faktor nafsu seks. Menurut Aminah Wadud, poligami hanya menjadi media penyaluran nafsu seks laki-laki yang hiper, bukan dalam rangka menggapai keluarga sakinah, ma waddah, wa rahmah.

Permasalahan lain yang timbul sebagai akibat dari poligami adalah mengenai unsur keadilan dalam poligami itu sendiri. Perdebatan akademis di atas memang tidak akan pernah selesai.Yang pertama berpijak pada teks hukum yang jelas-jelas memperbolehkannya. Yang kedua, melihat latar historis, sosiologis, budaya, idiologis dan politis. Yang kedua ini lebih berpijak pada aspek moral-etika. Perdebatan ini paling tidak menjadi counter discourse bagi pelaku poligami agar tidak berlaku sewenang-wenang, mentang-mentang kaya, memperlakukan istri ke-2 dan seterusnya hanya sebagai pemuas nafsu seks, bukan dalam rangka membangun keluarga bahagia dunia-akhirat. Istri, baik pertama, kedua, ketiga, dan keempat, adalah ibarat pakaian yang menutupi dan menghiasi tubuh suami, begitu juga suami dengan istri (Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna)(QS. Al-Baqoroh:187)

Adalah (berbuat adil) dalam poligami adalah sesuatu yang mustahil bisa dilakukan, oleh sebab itu, pemikir muslim modernis menganggap poligami adalah larangan agama.

Adalah (berbuat adil dalam semua aspek) dalam konteks ini harus didinamisasi, revitalisasi, dan internalisasi bagi setiap pelaku poligami, sehingga tujuan mulia Alquran yang ingin memberdayakan dan menjunjung tinggi hak dan martabat perempuan lewat ajaran poligaminya, khususnya jika tujuannya untuk menolong para janda dan anak yatim, bisa ditegakkan di muka bumi ini.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penulis hanya dapat menyimpulkan bahwa permasalahan poligami akan terus hadir dan bergulir dalam kehidupan umat manusia. Pihak pro dan kontra pun akan terus memperdebatkannya sesuai kebutuhan mereka dengan mendalilkan seluruh aspek yang mereka yakini. Dan pada akhirnya semua akan berpulang kepada keyakinan seseorang terhadap hukum dan agamanya.

* Disarikan oleh : TOPARI (Ketua DPD Pemuda Demokrat Indonesia Provinsi Banten)

Rabu, 14 April 2010

Tasawuf di Abad Modern

Kaum sufi yang merupakan kaum elit dan kaum terdepan. Merupakan roda penggerak utama islam pada masanya.Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering dihubungkan dengan gerakan-gerakan Islam umumnya.


Kaum sufi adalah kaum elit masyarakatnya, dan sering memimpin gerakan pembaruan, atau perlawanan terhadap penindasan dan dominasi asing atau kolonial. Maka, misalnya, mereka terlibat jauh dalam gerakan politik seperti kebangkitan di Maroko dan Aljazair melawan Prancis, dan pembangunan kembali masyarakat dan pemerintahan Islam di Libya, yang sebagian besar dilakukan oleh para anggota tarekat Sanusi. Di Nigeria utara, Syekh 'Utsman dan Fobio (m. 1817), seorang anggota Tarekat Qadiriyah, memimpin jihad melawan para penguasa Habe yang telah gagal memerintah menurut syariat Islam, yang telah mengadakan pembebanan pajak yang dibuat-buat, korupsi umum, penindasan, dari menjatuhkan moralitas Islam pada tingkat rakyat maupun istana. Lebih jauh ke timur, Syekh Muhammad Ahmad al-Mahdi (m. 1885), anggota tarekat Tsemaniyah, berhasil menentang pemerintahan kolonial Inggris di Sudan. Fenomena serupa terjadi pula di Timur. Misalnya, kaum sufi Naqsabandiyyah dan Syah Waliyullah menentang kekuasaan kolonial Inggris di India.

Demikianlah kaum sufi beraksi di banyak negara di masa penjajahan, menentang usaha kolonial untuk menjungkirkan pemerintahan Islam, dan berusaha menghidupkan kembali serta mempertahankan Islam yang asli. Mereka sering membentuk atau berada di jantung kelompok-kelompok sosial yang kuat, dan mempunyai banyak pengikut di banyak bagian dunia. Yang membuat gerakan-gerakan ini tetap berhubungan dan kuat ialah kenyataan bahwa selama abad ke-19 rakyat tidak aktif, dan kendali atas pemilikan tanah, bersama dengan pengaruh tradisi kultural yang telah lama mapan, memainkan peranan penting dalam stabilitas masyarakat. Namun, di abad ke-20 situasi ini mulai berubah secara cepat dan radikal

Penjajahan Barat atas kebanyakan negeri Muslim hampir sempurna menjelang akhir Perang Dunia Pertama. Setelah itu, kedatangan para penguasa sekuler dan sering "klien", yang ditunjuk atau disetujui oleh Barat, menentukan suasana. Kepentingan serta pengaruh agama dan kaum sufi menjadi nomor dua, karena erosi yang cepat dalam nilai-nilai dan gaya hidup masa lalu dan tradisional, dan menjadi bertambah sulit dan berbahaya untuk mengikuti jalan Islam yang asli secara utuh di negeri-negeri Muslim. Berlawanan dengan apa yang terjadi di Timur, banyak organisasi dan masyarakat spiritual muncul di Barat, sering dimulai oleh para pencari pengetahuan Barat.

Kenyataan bahwa banyak orang dari masyarakat Barat mengikuti gerakan-gerakan agama semu (psendo-religions), seperti gerakan Bahai dan Subud, maupun berbagai cabang Budhisme, Hinduisme, dan agama-agama baru minor lainnya, atau versi-versi agama lama yang dihidupkan kembali, menunjukkan kehausan dan minat akan pengetahuan spiritual di Barat, dimana berbagai versi agama Kristen yang lebih berdasarkan pikiran atau emosi ketimbang berdasarkan "hati", telah gagal memberikan santapan rohani yang sesungguhnya selama beberapa abad. Lebih berpengaruh dari berbagai gerakan ini adalah gerakan kaum Teosofi dan Mason. Menjelang awal abad ke-20 kita dapati perhatian yang amat besar pada spiritualisme di Eropa maupun Amerika Utara.

Karya para orientalis yang berusaha menggali dimensi spiritual agama-agama Timur --sekalipun dalam kerangka konseptual mereka yang khas, termasuk Islam, turut memperbesar minat terhadap spiritualisme dan pencarian pengalaman mistik di Barat, melalui tulisan dan terjemahan mereka atas karya-karya asli tentang tradisi-tradisi, kesenian, kultur, falsafah dan agama-agama Timur. Tasawuf mulai tiba di Barat bersama dengan gerakan spiritual semu atau gerakan spiritual sesungguhnya.

Kedatangan banyak guru India dan ahli kebatinan Budha bertepatan dengan lahirnya perhatian terhadap tasawuf. Di pertengahan abad ke-20, cukup banyak masyarakat dan gerakan sufi muncul di Eropa dan Amerika Utara, sebagian didirikan oleh orang sufi yang sesungguhnya dan sebagian oleh sufi semu. Dengan berjalannya waktu, lebih banyak informasi tentang tasawuf dan Islam yang lengkap dapat diperoleh di Barat. Krisis minyak di Barat dan ledakan minyak di sejumlah negara Timur Tengah juga membantu meningkatkan kontak dengan Timur Tengah dan bahasa Arab serta informasi tentang Islam. Kemudian datang Revolusi Islam Iran di tahun 1979 yang menyebabkan bangkitnya perhatian dunia kepada tradisi Islam. Tidaklah lepas dari konteks apabila dikatakan di sini bahwa kediaman Imam Khomeini sebelumnya, dan tempat di mana ia menyambut tamu-tamu rakyatnya di utara Teheran, adalah masjid dan tempat suci sufi. Sebenarnya Imam Khomeini berkonsentrasi pada ilmu tasawuf dan 'irfaan (gnosil), pada tahun-tahun awal di sekolah agama di Qum. dan tulisan-tulisannya yang awal terutama mengenai makna batin dari berjaga malam (qiyamul-lail), shalat malam dan kebangunan-diri.

Perlu diperhatikan bahwa kita jangan merancukan kualitas spiritual dari seorang individu dengan kejadian lahiriah. Imam 'Ali, guru semua sufi, hanya mengurusi peperangan selama bertahun-tahun sebagai pemimpin umat Islam. Kejadian-kejadian lahiriah kadang membingungkan penonton dan menyembunyikan cahaya orang-orang semacam itu. Tentang keadaan tasawuf di Barat di masa lalu yang lebih belakangan ini, kami mengamati dan menyimpulkan bahwa banyak kelompok yang menerima tasawuf untuk mengambil manfaat dari beberapa disiplin, doktrin, praktik atau pengalamannya, telah mulai terpecah belah.

Kelompok-kelompok gerakan zaman baru ini yang mengikuti sejumlah gagasan yang diambil dari tasawuf sedang terpecah-pecah karena jalan hidup mereka tidak selaras dengan garis umum Islam yang asli, dan oleh karena itu mereka tidak mendapat perlindungan lahiriah yang diperlukan untuk melindungi dan menjamin keselamatan gerakan batinnya. Maka selama beberapa dasawarsa terakhir abad ini, kita lihat bahwa kebanyakan gerakan sufi di Barat telah menguat karena berpegang pada amal-amal lahiriah Islam, atau melemah dan merosot karena tidak berlaku demikian.

Disarikan dari berbagai sumber.

Rabu, 17 Maret 2010

Memimpin Adalah Berkorban dan Melayani*

MENCARI pemimpin yang ”oke” segala-galanya memang sudah jadi asa kita selama ini.Tapi, selesaikah persoalan, jika kita punya pemimpin yang baik dan ”oke” segalanya? Jalan masih panjang, bahkan kita harus melacak juga akar masalah yang mendera negera-negara di dunia.


Hadirnya pemimpin yang baik adalah salah satu upaya kita menyelesaikan masalah. Tapi, masalah utama adalah seberapa pantas sistem kapitalisme saat ini mengatur kehidupan satu masyarakat? Sayangnya, kita mesti mengakui bahwa sistem buatan manusia ini tak laik jalan lagi. Mari kita tengok Indonesia. Di negeri ini, sejak pemimpin yang pertama sampai yang sekarang, selalu berujung pada kondisi kolaps.

Melihat penyebab yang saling terkait, banyak orang lantas berpikir bahwa antara sistem dan individu itu seperti ayam dengan telur; tidak bisa dibedakan mana yang lebih dulu. Pola pikir dikotomis seperti ini tidak boleh digunakan, karena yang harus dilakukan adalah membangun keduanya secara simultan. Individu yang baik tidak akan lahir dalam sistem yang buruk.

Sebaliknya, sistem yang baik tidak akan sempurna kebaikannya jika para pelaksananya buruk.

Buku ini mengungkapkan kepada kita potret kepemimpinan radikal yang sekarang sedang eksis di dunia internasional. Sosok yang dimunculkan itu adalah Hugo Chavez (Venezuela). Hugo Chavez adalah nama yang fenomenal. Setelah menduduki kursi kepresidenan, ia segera menggerakkan serangkaian politik radikal yang dijuluki sebagai Revolusi Bolivarian. Satu revolusi yang mengambil inspirasi dari cita-cita Simon Bolivar.

Buku ini menyingkap bagaimana Revolusi Bolivarian terbentuk, cita-cita dan keberhasilan yang dicapainya, serta bagaimana rakyat melalui Lingkaran Bolivarian mengorganisasi diri dan meraih kemenangan. Satu buku wajib yang penting untuk dibaca bagi siapa saja yang mendambakan politik radikal dan perubahan revolusioner di negeri ini.

Mau tahu negeri mana yang menggaji ibu rumah tangga? Ingin tahu negeri mana yang menggratiskan pendidikan dan kesehatan? Itulah yang sekarang sedang berjalan di Amerika Latin. Presidennya dengan keberanian yang memukau, menasionalisasi puluhan perusahaan asing dan dengan ”nekat” membagi susu sekaligus beras gratis untuk penduduk miskin. Di sana, seorang dokter harus bertanggung jawab pada puluhan keluarga miskin. Rakyat benar-benar diurus dan mereka yang miskin mendapat prioritas pelayanan. Presidennya hidup sederhana, dan tidak pernah merasa gentar dengan Amerika. Inilah kisah tentang Presiden Radikal yang tidak hanya memenangkan pemilu tapi juga memenuhi harapan rakyat kecil.

Sang penulis buku, menjerit menyaksikan apa yang terjadi di Indonesia. Pada saat para penguasa Amerika Latin melakukan nasionalisasi aset bangsa, maka Indonesia tambah girang menjual aset ekonomi nasional. Ketika Iran membangun program perumahan rakyat miskin , kita disuguhi fakta terjadinya penggusuran atas nama kebersihan dan ketertiban kota. Di kala Argentina mengangkat menteri khusus yang memburu mantan presiden yang kejam, kita malah punya jaksa agung yang menghadiahi ampunan untuk mantan kepala negara yang nyata berbuat salah. Pada waktu seorang presiden melakukan pemotongan gaji untuk semua kabinet, kita malah menaikkan gaji para anggota parlemen dan sejumlah pejabat. Buku ini ditulis semula untuk mengembalikan keyakinan dasar kita bahwa masih ada pilihan pemimpin alternatif.

Seorang pemimpin, sepatutnya seorang revolusioner. Tegar, tegas, dan memiliki keberanian. Mohammad Hatta pernah menyatakan, orang revolusioner harus berani hidup sengsara sandiri dan berani berdiri sendiri. Apa pun godaan dan cobaan , keyakinannya harus tetap ada.

Sudah saatnya bagi kita untuk memikirkan bahwa perkara kepemimpinan bukan sekadar persoalan siapa yang layak, melainkan "kemampuan dan kesediaan" mereka dalam berkorban untuk rakyat.

*Dimuat di Harian Pikiran Rakyat, edisi hari Kamis tanggal 15 Januari 2007
(Kurnia/Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung)

Natsir dan Lahirnya "Mosi Integral"

Rangkaian peringatan 100 tahun Mohammad Natsir telah usai, dipuncaki dengan peluncuran buku dan situs internet tokoh ini pada Rabu (17/9) petang lalu.


Salah satu buku itu adalah 100 Tahun Mohammad Natsir-Berdamai dengan Sejarah yang berisi 38 tulisan kenangan dari berbagai tokoh. Sementara buku lainnya adalah Capita Selecta 3 yang berisi tulisan dan pidato Natsir dari tahun 1956 dan 1960. (Catatan: Capita Selecta 1 memuat tulisan Natsir dalam rentang 1936-1941, berisi pemikiran tentang kebudayaan, filsafat, pendidikan, agama, ketatanegaraan, dan politik, sedangkan Capita Selecta 2 memuat tulisan, pidato, dan wawancara Natsir dari tahun 1950-1955. Di dalam buku kedua inilah terdapat pidato monumental Natsir yang dikenal dengan sebutan ”Mosi Integral Natsir”.)

Dalam acara yang dihadiri oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan sekitar 400 undangan, sosok Natsir seolah kembali ke dalam ruangan, dengan kenangan akan ketokohannya, kejujurannya, dan keteguhannya terhadap prinsip.

Natsir memang tokoh yang pantas dikagumi. Dari berbagai sisi yang bisa digali dari tokoh ini, dari buku Berdamai dengan Sejarah ingin dicuplikkan dua kenangan yang menggugah.

Penampilan di AMS
Setelah menyelesaikan pendidikan MULO (setingkat SMP) di Padang, Natsir melanjutkan ke sekolah menengah atas di AMS (Algemene Middelbar School) A-II Westers Klassieke Afdeling di Bandung. Di sini pula, menurut catatan Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir belajar dari 1926- 1929. Di sekolah ini, selain harus belajar empat bahasa—Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman— siswa juga harus mempelajari bahasa Latin sehingga pelajar sekolah itu disebut juga Latinist.

Natsir, seperti ditulis oleh Taufiq Ismail, adalah pembaca buku yang sangat tekun, dengan disiplin luar biasa, menyelesaikan satu buku dalam seminggu. Toh, masih ada seorang guru Belanda yang mengejeknya karena dalam percakapan Natsir kurang lancar. Natsir jengkel dan belajar mati-matian sampai akhirnya ia ingin membuktikan diri dalam satu lomba deklamasi. Yang ia baca adalah syair Multatuli berjudul De Banjir. Ia mendapat tepuk tangan riuh dan meraih juara pertama. Guru Belanda tadi juga ikut tepuk tangan meskipun dengan lambat dan enggan.

Di kelas V (setara dengan kelas II SMA kini), Natsir bertemu lagi dengan guru Belanda tadi yang kini mengajar Ilmu Bumi Ekonomi. Guru yang sinis terhadap gerakan politik kebangsaan ini menantang murid, siapa yang berani membahas masalah pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula bagi rakyat di Pulau Jawa. Ternyata yang berani angkat tangan hanya Natsir, yang lalu diberi waktu dua minggu untuk menuliskannya.

Natsir lalu ke perpustakaan Gedung Sate, mencari notulen perdebatan di Volksraad, menggali majalah kaum pergerakan, dan mengumpulkan statistik. Setelah jadi makalah, Natsir membacakannya di kelas selama 40 menit. Natsir membuktikan, rakyat tidak mendapatkan keuntungan dari pabrik gula, dan yang untung adalah kapitalis Belanda serta para bupati yang menekan rakyat untuk menyewakan tanah mereka dengan harga rendah, menjadikan mereka buruh dengan upah rendah, dan membuat mereka terjerat utang. Kelas sunyi senyap saat Natsir remaja membacakan makalahnya. Wajah guru Belanda tadi pun suram, tak menyangka ada murid kelas V AMS bisa membuat analisa semacam itu dalam bahasa Belanda yang rapi.

Mosi Integral
Disinggung oleh berbagai penulis di buku Berdamai dengan Sejarah, mosi integral Natsir dikemas khusus dalam buku kecil yang dibagikan di sela-sela acara petang itu. Dalam buku kecil Mosi Integral Natsir: Dari RIS ke NKRI", Ketua Panitia Peringatan 100 Tahun Natsir, Laode M Kamaluddin, memberikan catatan ringkas atas mosi ini.

Mosi integral dengan tokoh utamanya Natsir, ia nilai sebagai prestasi gemilang dan monumental yang pernah dicapai oleh parlemen Indonesia. Natsir, tulis Kamaluddin, mampu menyatukan kembali Indonesia yang terpecah belah dalam pemerintahan negara-negara bagian atau federal buatan Van Mook menjadi NKRI yang kita kenal sekarang ini.

Mosi ini tidak lahir begitu saja. Terjadinya perdebatan di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah merupakan titik kulminasi aspirasi masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-2 November 1949. Pihak yang termasuk menolak hasil KMB adalah Natsir yang waktu itu Menteri Penerangan (Menpen) dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Natsir menolak jabatan Menpen dan memilih berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS. Salah satu alasan Natsir menolak jabatan itu adalah karena ia tak setuju Irian Barat tak dimasukkan ke dalam RIS.

Perdana Menteri (PM) RIS Mohammad Hatta menugaskan Natsir dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan lobi untuk menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Pengalaman keliling daerah menambah jaringan Natsir. Selain itu, kecakapannya berunding dengan para pemimpin fraksi di Parlemen RIS, seperti IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik dan AM Tambunan dari Partai Kristen, telah mendorong Natsir ke satu kesimpulan, negara-negara bagian itu mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya—maksudnya RI—asal jangan disuruh bubar sendiri.

Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah- daerah lalu ia formulasikan dalam dua kata ”Mosi Integral” dan disampaikan ke Parlemen 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.

Kisah lain
Tentu belum cukup mengungkapkan sumbangan Natsir hanya melalui uraian di atas. Masih bisa diceritakan kaitan Natsir dengan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan Permesta (Perjuangan Semesta) di Sulawesi antara 1956 dan 1958. Staf Ahli Mensesneg Dadan Wildan Annas menyebut ”keterlibatan” dalam peristiwa itulah yang masih mengganjal perjalanan sejarah Natsir untuk diakui sebagai pahlawan nasional.

Namun, di luar itu, tokoh seperti Natsir telah memberikan sumbangan berharga kepada perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Tokoh itu, menurut Rosihan Anwar, mempunyai sifat tabiat sendiri dengan keunikannya. Namun, ia adalah putra Indonesia yang patut kita kenang sepanjang masa dan kita hormati dengan segala khidmat.

Senin, 15 Maret 2010

DEWA RUCI

Pagi ini ada seorang sahabat memberikan 4 wayang kulit ke saya.

Yang pertama gunungan wayang, yang kedua sosok dewa ruci, yang ketiga sena waktu masih muda dan ketiga adalah werkudara.

Saya coba cari makna pemberian wayang kulit yang sudah tergeletak di meja saya, dan pagi ini saya tempel di ruang kerja. Sosok Dewa RUCI dan Werkudara.

Rupanya ada nasehat dan maksud yang ingin disampaikan.
Semoga bermanfaat buat kita bersama.

jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu,
jangan menyuap sebelum mencicipnya.
tahu hanya berawal dari bertanya,
bisa berpangkal dari meniru,
sesuatu terwujud hanya dari tindakan.

------------------
WEJANGAN DEWA RUCI
------------------

termangu sang werkudara di tepian samudera
dibelai kehangatan alun ombak setinggi betis
tak ada lagi tempat bertanya
sesirnanya sang naga nemburnawa

dewaruci, sang marbudyengrat, memandangnya iba dari kejauhan,
tahu belaka bahwa tirta pawitra memang tak pernah ada
dan mustahil akan pernah bisa ditemukan oleh manusia mana pun.

menghampir sang dewa ruci sambil menyapa:
'apa yang kau cari, hai werkudara,
hanya ada bencana dan kesulitan yang ada di sini
di tempat sesunyi dan sekosong ini'

terkejut sang sena dan mencari ke kanan kiri
setelah melihat sang penanya ia bergumam:
'makhluk apa lagi ini, sendirian di tengah samudera sunyi
kecil mungil tapi berbunyi pongah dan jumawa?

serba sunyi di sini, lanjut sang marbudyengrat
mustahil akan ada sabda keluhuran di tempat seperti ini
sia-sialah usahamu mencarinya tanpa peduli segala bahaya

sang sena semakin termangu menduga-duga,
dan akhirnya sadar bahwa makhluk ini pastilah seorang dewa
ah, paduka tuan, gelap pekat rasa hatiku.
entahlah apa sebenarnya yang aku cari ini.
dan siapa sebenarnya diriku ini

ketahuilah anakku, akulah yang disebut dewaruci, atau sang marbudyengrat
yang tahu segalanya tentang dirimu ,nakku yang keturunan hyang guru dari hyang brahma,
anak kunti, keturunan wisnu yang hanya beranak tiga, yudistira, dirimu, dan janaka.
yang bersaudara dua lagi nakula dan sadewa dari ibunda madrim si putri mandraka.
datangmu kemari atas perintah gurumu dahyang durna
untuk mencari tirta pawitra yang tak pernah ada di sini

bila demikian, pukulun, wejanglah aku seperlunya
agar tidak mengalami kegelapan seperti ini
terasa bagai keris tanpa sarungnya

sabarlah anakku,.memang berat cobaan hidup
ingatlah pesanku ini senantiasa
jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu,
jangan menyuap sebelum mencicipnya.
tahu hanya berawal dari bertanya, bisa berpangkal dari meniru,
sesuatu terwujud hanya dari tindakan.

janganlah bagai orang gunung membeli emas,
mendapat besi kuning pun puas menduga mendapat emas
bila tanpa dasar, bakti membuta pun akan bisa menyesatkan

duh pukulun, tahulah sudah di mana salah hamba
bertindak tanpa tahu asal tujuan
sekarang hamba pasrah jiwaraga terserah paduka.

nah, bila benar ucapanmu, segera masuklah ke dalam diriku.
lanjut sang marbudyengrat

sang sena tertegun tak percaya mendengarnya
ah, mana mungkin hamba bisa melakukannya
paduka hanyalah anak bajang sedangkan tubuh hamba sebesar bukit.
kelingking pun tak akan mungkin muat.

wahai werkudara si dungu anakku,
sebesar apa dirimu dibanding alam semesta?
seisi alam ini pun bisa masuk ke dalam diriku,
jangankan lagi dirimu yang hanya sejentik noktah di alam.

mendengar ucapan sang dewaruci sang sena merasa kecil seketika,
dan segera melompat masuk ke telinga kiri sang dewaruci
yang telah terangsur ke arahnya

heh, werkudara, katakanlah sejelas-jelasnya
segala yang kau saksikan di sana
hanya tampak samudera luas tak bertepi, ucap sang sena
alam awang-uwung tak berbatas hamba semakin bingung
tak tahu mana utara selatan atas bawah depan belakang

janganlah mudah cemas, ujar sang dewaruci
yakinilah bahwa di setiap kebimbangan
senantiasa akan ada pertolongan dewata

dalam seketika sang bima menemukan kiblat dan melihat surya
setelah hati kembali tenang tampaklah sang dewaruci di jagad walikan.

heh, sena! ceritakanlah dengan cermat segala yang kau saksikan!

awalnya terlihat cahaya terang memancar, kata sang sena
kemudian disusul cahaya hitam, merah, kuning, putih.
apakah gerangan semua itu?

ketahuilah werkudara, cahaya terang itu adalah pancamaya,
penerang hati, yang disebut mukasipat (mukasyafah),
penunjuk ke kesejatian, pembawa diri ke segala sifat lebih.
cahaya empat warna, itulah warna hati
hitam merah kuning adalah penghalang cipta yang kekal,
hitam melambangkan nafsu amarah, merah nafsu angkara, kuning nafsu
memiliki.

hanya si putih-lah yang bisa membawamu
ke budi jatmika dan sanggup menerima sasmita alam,

namun selalu terhalangi oleh ketiga warna yang lain
hanya sendiri tanpa teman melawan tiga musuh abadi.
hanya bisa menang dengan bantuan sang suksma.

adalah nugraha bila si putih bisa kau menangkan
di saat itulah dirimu mampu menembus segala batas alam tanpa belajar.

duhai pukulun, sedikit tercerahkan hati hamba oleh wejanganmu
setelah lenyap empat cahaya, muncullah nyala delapan warna,
ada yang bagai ratna bercahaya, ada yang maya-maya, ada yang menyala berkobar.

itulah kesejatian yang tunggal, anakku terkasih
semuanya telah senantiasa ada dalam diri setiap mahluk ciptaan.
sering disebut jagad agung jagad cilik

dari sanalah asal kiblat dan empat warna hitam merah kuning putih
seusai kehidupan di alam ini semuanya akan berkumpul menjadi satu,
tanpa terbedakan lelaki perempuan tua muda besar kecil kaya miskin,
akan tampak bagai lebah muda kuning gading
amatilah lebih cermat, wahai werkudara anakku

semakin cerah rasa hati hamba.
kini tampak putaran berwarna gading, bercahaya memancar.
warna sejatikah yang hamba saksikan itu?

bukan, anakku yang dungu, bukan,
berusahalah segera mampu membedakannya
zat sejati yang kamu cari itu tak tak berbentuk tak terlihat,
tak bertempat-pasti namun bisa dirasa keberadaannya di sepenuh jagad ini.

sedang putaran berwarna gading itu adalah pramana
yang juga tinggal di dalam raga namun bagaikan tumbuhan simbar di pepohonan
ia tidak ikut merasakan lapar kenyang haus lelah ngantuk dan sebagainya.
dialah yang menikmati hidup sejati dihidupi oleh sukma sejati, ialah yang merawat raga
tanpanya raga akan terpuruk menunjukkan kematian.

pukulun, jelaslah sudah tentang pramana dalam kehidupan hamba
lalu bagaimana wujudnya zat sejati itu?
itu tidaklah mudah dijelaskan, ujar sang dewa ruci, gampang-gampang susah
sebelum hal itu dijelaskan, kejar sang bima, hamba tak ingin keluar dari tempat ini
serba nikmat aman sejahtera dan bermanfaat terasa segalanya.

itu tak boleh terjadi, bila belum tiba saatnya, hai werkudara
mengenai zat sejati, engkau akan menemukannya sendiri
setelah memahami tentang penyebab gagalnya segala laku serta bisa bertahan dari segala goda,
di saat itulah sang suksma akan menghampirimu, dan batinmu akan berada di dalam sang suksma sejati

janganlah perlakukan pengetahuan ini seperti asap dengan api,
bagai air dengan ombak, atau minyak dengan susu
perbuatlah, jangan hanya mempercakapkannya belaka
jalankanlah sepenuh hati setelah memahami segala makna wicara kita ini
jangan pernah punya sesembahan lain selain sang maha luhur
pakailah senantiasa keempat pengetahuan ini
pengetahuan kelima adalah pengetahuan antara,
yaitu mati di dalam hidup, hidup di dalam mati
hidup yang kekal, semuanya sudah berlalu
tak perlu lagi segala aji kawijayan, semuanya sudah termuat di sini.

maka habislah wejangan sang dewaruci,
sang guru merangkul sang bima dan membisikkan segala rahasia rasa
terang bercahaya seketika wajah sang sena menerima wahyu kebahagiaan
bagaikan kuntum bunga yang telah mekar.
menyebarkan keharuman dan keindahan memenuhi alam semesta

dan blassss . . . !

sudah keluarlah sang bima dari raga dewaruci sang marbudyengrat
kembali ke alam nyata di tepian samodera luas sunyi tanpa sang dewaruci

sang werkudara melompat ke daratan dan melangkah kembali
siap menyongsong dan menyusuri rimba belantara kehidupan

Minggu, 14 Maret 2010

SYAHADAT

Aku bersaksi tiada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah dan aku bersaksi Muhammad (itu) Pesuruh Allah"


Sungguh suatu kalimat penyaksian yang sangat sempurna, tetapi apakah penyaksian itu sudah benar adanya?

Apakah benar kita sudah bersaksi langsung kepada Allah dan menyaksikan langsung keberadaan Allah? Jikalau belum kita menyaksikan langsung keberadaan Allah apakah bukan berarti kita telah bersaksi palsu? dan bagaimanakah hukum orang yang bersaksi palsu?

Kalau begitu siapakah Allah?
Bagaimanakah Allah?
dan dimanakah Allah?
Apakah Allah itu wujud dan benar adanya?
Dimanakah kebenaran Allah yang sebenarnya?
Apakah di dalam diri kita ataukah di luar diri kita?

Kalau di dalam diri kita seperti yang tertulis di dalam Al-Qur'an bahwa Allah itu lebih dekat dari urat leher kita, sebenarnya siapakah diri kita dan bagaimanakah hubungan kita dengan Allah dan kenapa Allah turunkan Al-Qur'an kepada manusia?

Apakah Allah turunkan Al-Qur'an dalam bentuk lisan ataukah tulisan? dan kalau dalam bentuk tulisan apakah arti dari pada tulisan itu serta apa arti dan maksud serta tujuan Allah menciptakan huruf-huruf Aliif sampai dengan huruf Yaa jadi apa bedanya kitab Al-Qur'an dengan Kitabullah?, lalu dimanakah letaknya Al-Qur'an pada manusia? sehingga sampai Al-Qur'an itu dimuliakan dan sampai dijunjung tinggi bahkan membacanya pun sampai dilagukan bahkan diperlombakan.

Hal-hal ini telah membuat aku bingung dan hilang pegangan karena kebenaran-kebenaran yang ada di antara kesemuanya baik Allah, manusia dan Al-Qur'an telah menjadi pudar.

Di mana kebenaran Allah berada dan dimana kebenaran manusia berada serta dimana kebenaran Al-Qur'an berada kesemuanya sudah mulai pudar dan akhirnya kalau semuanya sudah mulai pudar bagaimanakah kejadian alam semesta ini? Karena masing-masing manusia berpegang pada kebenarannya sendiri-sendiri dengan mengaku kebenaran Allah berada di dalamnya. Padahal diri sendiri tidak tahu dimana dan bagaimana sebenarnya kebenaran Allah itu. Karena kalau seumpamanya sampai mereka mengetahui kebenaran Allah yang sebenarnya maka dunia ini tidak akan terjadi kekacauan dan tidak akan terjadi peperangan.

Keamanan dalam negeri dan luar negeri akan terjamin karena Allah itu bersifat Rahmaan dan Rahiim. Peperangan dan kekacauan, kekerasan dan kedholiman tidak akan terjadi, karena semua manusia berpegang pada satu yaitu Aqidah atau Keyakinan.

Apabila aqidah itu sudah ditanamkan pada suatu tempat yang paling tinggi di muka bumi ini maka akan tercapailah kedamaian dan apa yang kita cari selama ini.

Kenapa di dalam Rukum Islam yang ke lima (5) kita diperintahkan menunaikan Ibadah Hajji? Dan kenapa kita menunaikan Ibadah Hajji harus ke Tanah Suci? Dan kenapa kita tidak membuat Ka'bah itu lebih dari satu? Agar manusia tidak menemui kesulitan untuk menunaikannya.

Seperti umpamanya di Indonesia didirikan Ka'bah, di Arab didirikan satu Ka'bah, di Eropa didirikan satu Ka'bah dan seterusnya.

Kalau begitu Allah telah mempersulit manusia untuk menunaikn rukun Islamnya yang ke lima (5) dan berarti di mana letaknya kebenaran Allah? Apakah ibadah Hajji itu hanya untuk orang-orang yang mempunyai uang saja dan orang-orang miskin tidak bisa melaksanakannya? Dan haruskah menunaikan ibadah Hajji itu ke Mekkah? Dan begitu pentingkah arti Ka'bah bagi manusia? Jadi apa sebenarnya Ka'bah itu? Sehingga seluruh manusia di muka bumi ini harus berkiblat atau menghadapkan sujudnya kearah Ka'bah?

Wahai....seluruh umat Islam di muka bumi ini, yang telah mengaku bersyahadah dengan kalimat Tauhid "Asyhadu an La ilaha ila Allah wa asyhadu ana Muhammad Rasulullah'' marilah bergabung bersama kami untuk mencari kebenaran-kebenaran itu semua karena sesuai dengan syariat rukun Islam yang kelima (5) menunaikan ibadah haji jika mampu dan bersama-sama kita berjalan menuju Ka'bah untuk mempersatukan aqidah, karena aqidah itu hanya satu dan Ka'bah itu pun hanya satu dan pemiliknya hanya satu. Satu maksud, satu tujuan, dan satu kebenaran yaitu Kebenaran Allah.

Kita buka diri kita agar mengerti siapa diri kita, kita buka Al-Qur'an agar mengerti apa dan siapa Al-Qur'an dan kita buka Allah agar mengerti siapa itu Allah, dan akhirnya kita akan menemukan kebenaran Allah yang hakiki bahwa yang benar adalah Allah bukanlah kita sebagai manusia.

Janganlah mengaku diri sendiri sudah mempunyai ilmu padahal sebenarnya adalah kosong karena tidak ada satu mahluk di dunia ini yang mempunyai ilmu selain dari pada Allah karena ilmu itu milik Allah dan manusia hanya sekedar diberi pengetahuan (bukan ilmu) agar mengerti dan mencari kebenaran manusia itu sendiri dan kebenaran Al-Qur'an dan kebenaran Allah dan yang terakhir adalah kebenaran dari pada Dzat-Nya.

"Barang Siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya" dan barang siapa yang sudah mengenal Tuhannya berarti dia sudah bersyahadah (menyaksikan) LA ILAHA ILA ALLAH, dan barang siapa yang sudah bersyahadah berarti dia sudah Islam dan Allah akan mengatakan (bahwa) "Hari ini telah Ku sempurnakan nikmatmu dan Aku (Allah) ridho Islam-lah agamamu".

Tidak ada yang bisa berjalan di muka bumi ini tanpa dia mengerti dirinya dan tidak ada usaha yang maju atau sukses tanpa dia mengerti usahanya karena semuanya itu adalah atas dasar satu kehendak yaitu kehendak Allah dan bukanlah kehendak manusia.

Begitu pula suatu bangsa atau negara, apabila suatu bangsa atau negara itu mengerti akan hakekat berbangsa dan bernegara dan mengerti hakekat dari pada dirinya maka tidak akan mungkin terjadi perpecahan dan tidak akan muncul tragedi teroris yang selama ini selalu dituduhkan kedalam diri Islam.

Di dunia dan alam semesta ini hanya ada satu kekuatan yaitu kekuatan Allah (Wa Lam Yakun Lahu Kufuwan Ahad) dan segala apapun yang terjadi di dunia ini adalah kehendak Allah. Amerika bukanlah negara super power, Rusia juga bukan negara super power karena kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing negara di dunia ini hanyalah bersifat fatamorgana atau ilusi belaka.

Jika Allah berkehendak satu negara itu hancur, akan hancurlah negara itu dan begitu pula apabila Allah berkehendak dunia ini hancur akan hancurlah dunia.

Tetapi jika Allah berkehendak suatu bangsa itu maju maka akan majulah bangsa itu, dan semua ini adalah kehendak Allah dan Allah akan melihat dan memilih bangsa atau negara mana yang harus dihancurkan dan bangsa atau negara mana yang harus dibangkitkan dan siapa-siapa yng dekat dan mengenal akan Allah maka itulah yang akan diselamatkan oleh Allah.

Negara atau Bangsa Indonesia tidak pernah bercita-cita untuk menjadi negara super power seperti negara-negara lainnya tetapi negara atau bangsa Indonesia hanya bercita-cita untuk menjadi "Mercusuar" dunia, dan inilah cita-cita bangsa Indonesia yang sudah diprakarsai atau dijalankan oleh almarhum Presiden R.I yang pertama yaitu Soekarno atau lebih dikenal dengan nama "Bung Karno".


Di dalam hal ini bukanlah dilihat dari sosok tubuh atau jasad dari Soekarno atau Bung Karno-nya tetapi yang dilihat adalah aqidah atau keyakinan dari Bung Karno.

Soekarno atau Bung Karno melihat dunia ini dari sudut aqidah atau keyakinan, dan John F. Kennedy melihat dunia ini dari segi akal yang lebih banyak dipengaruhi oleh hawa nafsu dan Khrushcev melihat dunia ini dari segi hawa nafsu dan sedikit dipengaruhi oleh akal, masing-masing ingin (berambisi) untuk menguasai dunia, tetapi apa yang terjadi dan siapa pemenangnya? Yang satu berpegang pada aqidah atau keyakinan, dan yang satu berpegang pada akal, dan yang satu lagi berpegang pada hawa nafsu. Ternyata akal dan hawa nafsu tidak bisa melawan aqidah karena aqidah berpegang pada Kitabullah dan pada Al-Qur'an. Akal berpegang pada aqidah dan nafsu berpegang pada aqidah, karena aqidahlah yang menggerakkan akal dan aqidahlah yang menggerakkan hawa nafsu. Semua itu tertuju pada satu yaitu aqidah dan aqidah ini ibarat lampu di dalam kegelapan dan ibarat mercusuar di dalam pelayaran samudera.

Tetapi Soekarno adalah Soekarno sebagai wujud manusia biasa tidak ubahnya seperti Muhammad Rasulullah yang juga sebagai wujud manusia yang mempunyai keterbatasan usia begitu pula setiap manusia di dunia ini.

Soekarno diganti oleh Soeharto dan aqidah berubah menjadi nafsu, lalu nafsu berubah menjadi akal yaitu B.J. Habibie dan akal tidak berpegang pada aqidah tetapi pada nafsu maka hancurlah akal oleh hawa nafsu dan digantilah oleh K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang berpegang pada hawa nafsu dan sekarang nafsu itu kalah lagi oleh aqidah yaitu Megawati Soekarnoputri dan lewat pilihan rakyat "demokrasi" suara rakyat suara Tuhan, terpilih Susilo Bambang Yudhoyono. Apakah ini sudah juga mencerminkan makna "hak" tentang cahaya Illahi,......?

Sejarah terulang kembali di mana dahulu Indonesia berjalan berpegang pada aqidah dan sekarangpun kembali berpegang pada aqidah tetapi aqidah itu terpecah menjadi dua (2) yaitu aqidah dunia dan aqidah akherat sebab Allah adalah Cahaya Langit dan Bumi "Allahu nurussammawati wal ardhi" (Surat An Nur ayat 35). Inilah perjalanan bangsa Indonesia yang sudah ditentukan oleh Allah dan dituliskan di dalam kitab Al-Qur'an dan begitu pula dengan perjalanan-perjalanan bangsa atau negara-negara lainnya yang kesemuanya itu telah ditentukan oleh Allah dan tertulis pada kitab Al-Qur'an. Pada dunia ini yang memegang peranan hanyalah dari tiga (3) unsur pokok yaitu Aqidah, akal dan nafsu dan kesemuanya itu tunduk dan patuh pada tiga (3) huruf dalam satu kalimat yaitu Kaf, Wauw dan Nun (Kun) yang berarti "Jadilah".

Kalau kita sebagai manusia bisa bersandar pada tiga (3) unsur atau tiga (3) huruf ini maka dunia bisa dikuasai, tetapi siapakah yang bisa menguasai tiga (3) unsur atau tiga (3) huruf ini?

Dahulu yang bisa menguasai ini hanyalah Soekarno Presiden R.I. yang pertama dan sekarang Soekarno-Soekarno seperti itu belum keluar lagi, walaupun sebenarnya sudah ada.

Di dunia ini sudah ada orang yang menguasai tiga (3) huruf ini, dan entah nanti munculnya dari mana dan siapa, karena di dunia ini hanya ada satu orang saja yang dikuasakan oleh Allah untuk mengatur dunia, apakah orang itu berasal dari Amerika atau Belanda atau dari negara-negara Timur atau juga dari Asia atau mungkin Indonesia. Oleh karena itu bergabunglah dengan kami untuk dapat mengetahui dan mengikuti perkembangan negara-negara di dunia siapa tahu diantara kita semua ada yang menjadi orang satu-satunya yang bisa menguasai dunia.