SELAMAT DATANG KAWAN

Merdeka !!!
Marhaen Jaya

Kawan-kawan seperjuangan dalam hidup, marilah kita selalu senantiasa bersyukur kepadaNYA yang telah memberikan nikmat sehat, sehingga mampu berkarya demi keutamaan sebagai manusia yang mampu memberikan manfaat bagi sesama.

Untuk itu, kita sebagai kader bangsa harus senantiasa ingat & melaksanakan ajaran Bung Karno tentang faham :
Marhaenisme
– Sosio-Nasionalisme
Nasionalisme yang berperi-kemanusiaan.
– Sosio-Demokrasi
Demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan
keberesan ekonomi yang berke-Tuhan-an YME.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menuntun arah gerak kita guna mengawal 4 PILAR KEBANGSAAN (Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika).



KONFERDA I PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA PROVINSI BANTEN

KONFERDA I PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA PROVINSI BANTEN
HOTEL ABADI - SERANG, 25 MEI 2008

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KOTA TANGERANG SELATAN

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KOTA TANGERANG SELATAN
AULA KANTOR CAMAT CIPUTAT, 29 NOVEMBER 2009

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KAB. TANGERANG

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KAB. TANGERANG
CITRA RAYA-CIKUPA, 22 FEBRUARI 2009

HUT PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KE-62

HUT PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KE-62
LOMBA KARYA TULIS PELAJAR SE-KAB. TANGERANG TGL 31 MEI 2009

LEADERSHIP CAMP FOR STUDENTS

LEADERSHIP CAMP FOR STUDENTS
CISOKA, 1-2 OKTOBER 2005

Minggu, 17 Januari 2010

KETIDAKPASTIAN HUKUM
PENYEBAB KEMISKINAN MASYARAKAT DESA
Oleh Topari


Pengantar
Indonesia sebagai Negara Hukum seperti yang tertuang dalam UUD 1945 telah menjanjikan bahwa setiap warga Negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama di mata hukum tanpa mengenal apakah itu si miskin atau si kaya. Di sinilah sering timbul permasalahan: kaum miskin tidak mempunyai daya dalam mendapatkan hak yang layak di Republik ini, bahkan sangat jarang mereka mendapatkan pembelaan untuk mendapatkan haknya. Ketidakberdayaan kaum miskin dalam kedudukan yang sama di mata hukum sangat tampak pada masyarakat desa yang sering dijadikan objek penderita karena tingkat kesadaran dan pemahaman tentang hukum relatif kurang.
Masyarakat desa sering dilingkupi permasalahan kemiskinan yang terkait dengan urusan ekonomi, walaupun sebenarnya ada permasalahan yang sangat mendasar, yaitu yang terkait dengan ketidakpastian hukum bagi masyarakat miskin. Miskin berarti, harkat dan martabat sebagai manusia diabaikan. Di sinilah arti penting hukum yang harus menjadi media dan pranata dalam membangun keadilan sosial yang beradab.

Modernitas Penyebab Kemiskinan
Modernitas selalu ditandai dengan kapitalisme, seperti yang dikutip oleh Koerniatmanto Soetopreawiro dari Sumitro Djojohadikusumo (1991:198) bahwa ”kaum kapitalis itu terdorong nafsu yang tanpa batas untuk menumpuk kekayaan.” Jadi nampak sekali ada upaya dan langkah secara sistematis penghisapan terhadap rakyat berlangsung terus-menerus yang akan melahirkan kaum miskin, baik itu kaum miskin di perkotaan maupun kaum miskin di pedesaan.
Di lain pihak sosialisme bukan alternatif yang memuaskan bagi upaya memajukan martabat manusia, meski berangkat dari keprihatinan tentang penindasan manusia oleh manusia. Seperti yang dikutip oleh Koerniatmanto Soetoprawiro dari Franz Magnis-Suseno, 1992:74) bahwa “dalam sejarah sosialisme ternyata menghasilkan utopia sosialisme serta etatisme.” Pandangan tentang kapitalisme maupun sosialisme semuanya mendasarkan pada materialisme dan teknokrasi. Artinya bahwa materi dikejar demi materi, teknologi dikejar demi teknologi, kekuasaan dikejar demi kekuasaan dan manusia selalu dipandang sebagai salah satu faktor produksi. Materi dan teknologi merupakan faktor penting dalam proses kemajuan peradaban manusia, yang seharusnya mempunyai kewajiban dalam memajukan martabat manusia bukan malah sebaliknya menjadikan penyebab utama kemiskinan.
Jadi modernitas harus selalu diselaraskan dengan pelaksanaan keadilan sosial di masyarakat yang proses perpaduannya dikawal oleh kepastian hukum penyelenggara kekuasaan dalam mengimplementasikan akan arti pentingnya harkat dan martabat manusia. Kekuasaan jangan dijadikan alat untuk menghisap manusia atas manusia yang dibodohkan oleh struktur kekuasaan yang dibentuk oleh pengagum paham modernitas tanpa batas.

Kemiskinan Masyarakat Desa
Sejarah terbentuk suatu tatanan masyarakat kota berawal dari proses pertumbuhan arus migrasi masyarakat desa yang merasa bahwa proses pembangunan selalu lebih dikedepankan pada masyarakat kota dengan ditandai oleh berbagai penataan infrastruktur yang lebih baik dibandingkan yang ada di desa. Hal inilah yang mengakibatkan kemiskinan masyarakat desa tumbuh dengan subur karena tidak ada proses pembangunan yang dengan mengutamakan di desa baik secara fisik berwujud infrastruktur yang baik maupun pola penyadaran akan arti pengtingnya kesamaan hak di mata hukum. Ini bisa kita rasakan adanya upaya pengucilan akan peran serta masyarkat desa terhadap proses pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka.
Hal ini bisa kita lihat dalam perkembangan masyarakat desa yang terus dikucilkan dan berdampak pada lahirnya kemiskinan di kalangan masyarakat desa. Di masa kerajaan, masyarakat desa ditekan agar patuh untuk membayar pajak atau upeti guna menghidupi masyarakat di sekitar pusat kerajaan. Masa penjajahan lebih parah lagi dengan mengkerdilkan akan arti pentingnya kedudukan di mata hukum, yang ada malahan kerja rodi, tanam paksa dan penekanan agar taat bayar pajak.
Situasi tersebut terus berlanjut di masa setelah kemerdekaan hingga era reformasi, dimana pengaturan masyarakat desa yang dikendalikan oleh pemerintahan desa tidak pernah ada yang berpihak pada kesejahteraan masyarakat desa. Pengaturan dan perlindungan hukum atas kehidupan masyarakat desa selalu tidak pernah ada yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Hal ini bisa kita lihat pada pola program Bimas, dimana ada upaya pola memainkan hasil produksi pertanian berupa beras dijadikan alat politik guna melanggengkkan kekuasaan. Seperti yang dikutip oleh Koerniatmanto Soetoprawiro dari Gunawan Sumodiningrat (Kompas, 6/9/2004) bahwa ”Soeharto menggunakan beras sebagai alat politik, caranya pemerintah berupaya agar beras tetap murah dan tersedia di pasar.” Jadi petani dituntut untuk mensubsidi masyarakat kota demi stabilitas politik di kawasan perkotaan, dengan cara ini seolah Soeharto berpihak pada rakyat.
Koerniatmanto Soetoprawiro menerangkan bahwa di era reformasi ada upaya keinginan mengangkat masyarakat miskin yang ada di pedesaan dengan Program Gerbang Mina Bahari serta Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Akan tetapi sangat disayangkan du program tersebut tidak ada dasar hukum sama sekali. Hal ini suatu malapetaka dalam dunia hukum yang tidak memberikan pijakan yang sah dalam menjalankan program tersebut, sehingga semua itu hanya tinggal naskah belaka tanpa ada upaya implementasi dalam mengangkat harkat dan martabat masyarakat desa yang sudah miskin.
Rendahnya pendidikan masyarakat desa baik di kalangan petani maupun nelayan merupakan cerminan masyarakat Indonesia. Ini juga nampak dari kurang berpihaknya sistem pendidikan pada upaya menghasilkan sumber daya manusia yang mengerti dan ”melek” hukum.

Ketidakpastian Hukum
Hukum seharusnya dijadikan sarana untuk mempersempit kesenjangan sosial demi terciptanya keadilan sosial. Jangan diberikan peluang dan celah hukum bagi si kaya atau kaum kapitalis sehingga akan terus menerus menumpuk keuntungan atas nama kebebasan. Hukum memang harus memihak demi terciptanya kesetaraan sehingga tidak menjadi penyebab kemiskinan masyarakat desa karena rendahnya tingkat pendidikan, kemampuan untuk berproduksi secara efisien dan kesiapan dalam menerima proses modernitas. Indonesia sebagai bagian dari tatanan hidup berbangsa di dunia tidak terlepas dari pola hubungan antar bangsa. Pola hubungan inilah yang sering dan dirasakan mengakibatkan kemiskinan bagi warga bangsa.
Pola hubungan tersebut bisa tercermin dari adanya upaya tekanan penerapan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia dan globalisasi oleh negara-negara liberal seperti Amerika Serikat dan Inggris terhadap negara-negara berkembang dan miskin semakin keras. Celakanya, negara yang tidak mengikuti standar demokrasi, HAM dan globalisasi negara maju tersebut terus mendapat tekanan hingga sanksi embargo ekonomi. Menolak tekanan sekutu Amerika memang harus dipertimbangkan secara matang. Bagaimana kekuatan dan kelemahan diri bangsa itu sendiri. Bisakah bangsa kita berani menolak segala bentuk impor hasil pertanian seperti impor beras, daging ayam, jagung, pakan ternak dan jenis produk pertanian lainnya. Ini semua bisa terjadi karena tidak adanya kepastian hukum di Republik ini, sehingga hukum tidak mampu menjadi panglima dalam membuat kesetaraan masyarakat warga bangsa.
Penguasa dalam hal ini pemerintah yang sudah terpilih secara demokratis selalu lebih memperhatikan masyarakat kota dengan mengorbankan masyarakat desa. Desa yang selalu bertumpu pada sektor pertanian masih tetap miskin dan terbelakang. Artinya pertanian dan petani-nelayan perlu perlindungan hukum, yang terfokus bagaimana pertanian serta petani gurem, buruh tani, nelayan kecil dalam memperoleh penghidupan yang layak sebagai manusia yang bermartabat.
Jadi apa yang disampaikan oleh Koerniatmanto Soetoprawiro sangat setuju dengan menyampaikan adanya hukum pertanian yang mengatur secara spesifik terhadap upaya perlindungan terhadap kaum miskin pedesaan baik itu petani maupun nelayan. Hukum ini diharapkan mampu mengatur aspek pertanian modern dan kedaulatan pangan serta memberikan perlindungan bagi manusia dan alam terhadap dampak modernitas. Sehingga ketidakpastian hukum yang menyebabkan kemiskinan masyarakat desa bisa dihindarkan secara sistematis dan terukur.
Artinya bahwa kita butuh pola kepemimpinan yang bisa menjadi role model dan lebih mandiri serta berani membuat suatu kebijakan yang lebih berpihak pada petani, nelayan dan warga miskin lainnya yang banyak tinggal di desa. Boleh saja orang berpendapat prinsip globalisasi, tetapi apa pendapat rakyat jika kediktatorannya itu terbukti membuat negaranya lebih maju dan makmur?. Indonesia yang sudah berupaya melaksanakan demokrasi dalam segala bidang baik dalam konsepsi tatanan ketatanegaraan sampai lahirnya proses Amandemen terhadap UUD 1945 sampai 4 kali tapi tidak ada satu pun konsepsi penataan huum pertanian yang berpihak pada rakyat miskin di desa bahkan lebih berpihak pada para kapitalis sebagai contoh lahirnya paket UU Ketenagakerjaan (UU No 21 Tahun 2000, UU No 13 Tahun 2003 dan UU No 2 Tahun 2004) yang lebih berpihak pada pemilik modal, perlindungan HAM dan menandatangi perdagangan bebas baik AFTA, NAFTA dan bagian dari WTO. Hingga kini, Indonesia justru terpojok karena dinilai belum demokratis, dan pelanggar HAM. Akibat tekanan ini kekayaan alam harus beralih ke pihak asing dan pertumbuhan ekonomi nasional dikendalikan oleh negara-negara maju.

Saat ini, Indonesia bisa bangga terpilih sebagai anggota Dewan Hak Asasi PBB dengan dukungan 165 negara. Tetapi, bisakah bangsa ini membela dirinya sendiri ketika dituduh sebagai pelanggar HAM? Seorang anak bangsa Enrico Gueteres yang membela keutuhan NKRI di penjara sebagai pelaku pelanggar HAM. Dan, bisakah bangsa ini menolak sanksi pelanggaran HAM yang selalu dituduhkan Amerika kepada negara-negara tertindas?. Satu hal yang sangat krusial bahwa kita sebagai bangsa yang besar baik sebagai negara agraris, bahari, kekayaan sumber daya alam (minyak bumi, gas, nikel, dll) ironis sekali kita anggota OPEC tapi mengimpor minyak, impor beras, kedelai, daging ayam, dan menyitir sabutan Wakil Presiden kita bahwa pakar-pakar pertanian dari IPB sudah banyak yang mempunyai posisi strategis di Republik ini bahkan Presiden kita seorang Doktor jebolan IPB, Wakil Presiden kita Wali Amanah IPB tidak mampu memformulasikan peningkatan hasil bumi yang mampu mencukupi hajat hidup rakyat dan membuat hukum pertanian yang jelas-jelas kita adalah negara agraris butuh suatu regulasi untuk itu.
Sudah saatnya kita semua untuk bisa saling bahu-membahu agar bisa memberikan arti yang sesungguhnya kepada para pemimpin bangsa ini bahwa "Vox Populi, Vox Dei" (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan) mampu memberikan daya dorong untuk bisa hidup berdikari tanpa ada tekanan dari para kaum imperialisme dan kapitalisme yang sudah menjadi janin dan tumbuh dalam kehidupan kita tanpa terasa dengan pola budaya komsumerisme, politik media/pencitraan/iklan yang telah tanpa terasa menghayutkan sendi-sendi agar budaya kita yang bercirikan Pancasila 1 Juni 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar