SELAMAT DATANG KAWAN

Merdeka !!!
Marhaen Jaya

Kawan-kawan seperjuangan dalam hidup, marilah kita selalu senantiasa bersyukur kepadaNYA yang telah memberikan nikmat sehat, sehingga mampu berkarya demi keutamaan sebagai manusia yang mampu memberikan manfaat bagi sesama.

Untuk itu, kita sebagai kader bangsa harus senantiasa ingat & melaksanakan ajaran Bung Karno tentang faham :
Marhaenisme
– Sosio-Nasionalisme
Nasionalisme yang berperi-kemanusiaan.
– Sosio-Demokrasi
Demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan
keberesan ekonomi yang berke-Tuhan-an YME.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menuntun arah gerak kita guna mengawal 4 PILAR KEBANGSAAN (Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika).



KONFERDA I PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA PROVINSI BANTEN

KONFERDA I PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA PROVINSI BANTEN
HOTEL ABADI - SERANG, 25 MEI 2008

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KOTA TANGERANG SELATAN

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KOTA TANGERANG SELATAN
AULA KANTOR CAMAT CIPUTAT, 29 NOVEMBER 2009

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KAB. TANGERANG

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KAB. TANGERANG
CITRA RAYA-CIKUPA, 22 FEBRUARI 2009

HUT PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KE-62

HUT PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KE-62
LOMBA KARYA TULIS PELAJAR SE-KAB. TANGERANG TGL 31 MEI 2009

LEADERSHIP CAMP FOR STUDENTS

LEADERSHIP CAMP FOR STUDENTS
CISOKA, 1-2 OKTOBER 2005

Senin, 18 Januari 2010

SEBUAH RENUNGAN NASIONALISME DI TENGAH ARUS GLOBALISASI

Oleh : Topari *

Ketika kita menginjak pendidikan Sekolah Dasar, kita selalu ingat sejarah nasional dan para tokoh pahlawannya yang penuh heroik dalam mengantarkan berdirinya Republik tercinta ini. Dalam peringatan tiap tahun di bulan Mei, dimana tonggak sejarah Kebangkitan Nasional dengan berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908. Semua itu tidak lepas dari spirit para pejuang diantaranya dr. Wahidin Sudirohusodo yang dengan bahasa sederhana beliau mengatakan "kalau bangsa kita dapat meludah bersama, maka penjajah Belanda yang ada disini pasti semua tenggelam". Jelas ucapannya yang menganjurkan semangat kebangsaan dan akhirnya berhasil "membakar" semangat pemuda di berbagai daerah Indonesia tahun 1928, yang lebih dikenal sebuah komitmen nasional "Sumpah Pemuda" yang kemudian menjadi daya dorong diproklamirkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 dengan Dasar Negara Pancasila yang sebelumnya telah dipaparkan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari Lahirnya Pancasila.

Sesudah kemerdekaan, semangat kebangsaan diuji berbagai pemberontakan dalam negeri dan serangan ideologi liberalisme dan komunisme yang datang dari luar dengan situasi dunia terpolarisasi pada dua kutub kekuatan, yaitu liberalisme dan komunisme. Pada saat itulah konsepsi Pancasila disampaikan oleh Presiden Soekarno dihadapan Sidang Umum PBB ke-15 pada tanggal 30 September 1960 di New York, dengan judul pidato "to build to world a new" bahwa dalam membangun dunia baru diperlukan ideologi, pandangan hidup, semangat dan jiwa Pancasila yang lebih hebat dari jiwa liberalisme yang tertuang dalam "Declarations of Independent" dan jiwa komunisme yang tertuang dalam "Communist Manifesto". Beliau mengatakan waktu itu bahwa "Believe in God, Nationalism, Internationalism, Democracy and Social Justice".

Dalam kenyataan perjalanan tawaran konsepsi Pancasila dipakai di skala internasional harus berhadapan dengan kekuatan liberalisme yang dikemas dengan bentuk konsepsi pembangunan yang ditawarkan berupa kemudahan hutang luar negeri demi pembangunan ekonomi diatas budaya liberalisme yang kini sudah berkembang jadi neoliberalisme yang mendunia bersama perkembangan globalisasi. Kultur kekeluargaan sudah ditinggalkan, seperti semangat yang bersemi di Boedi Oetomo hancur dihantam boldouzer neoliberalisme dengan dalih demokrasi, perlindungan HAM dan globalisasi.

Tekanan penerapan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia dan globalisasi oleh negara-negara liberal seperti Amerika Serikat dan Inggris terhadap negara-negara berkembang dan miskin semakin keras. Celakanya, negara yang tidak mengikuti standar demokrasi, HAM dan globalisasi negara maju tersebut terus mendapat tekanan hingga sanksi embargo ekonomi. Menolak tekanan sekutu Amerika memang harus dipertimbangkan secara matang. Bagaimana kekuatan dan kelemahan diri bangsa itu sendiri. Bisakah bangsa itu mandiri tanpa bantuan sekutu Amerika dan lembaga internasional lainnya seperti IMF, IBRD dan UNDP?. Yang tidak kalah penting adalah dukungan dan integritas bangsa itu terhadap pemimpinannya.

Seperti yang ditulis oleh John Perkins dalam bukunya berjudul “Comfessions of an Economic Hit Man” bahwa ekonomi global dibangun dengan membuat sistem “patron-klien” ketergantungan negara pengutang (klien) dengan negara donor (patron) yang susah untuk dibongkar. Untuk membongkar belenggu hubungan Patron-klien dengan membangun kemandirian, kepercayaan diri, dan melepaskan ketergantungan pada negara Patron. Sebagai contoh :

1. Kemenangan Hamas di pemilu Legislatif Palestina;
2. Ahmadinejad di pemilu Presiden Iran;
3. Nasionalisasi aset migas Bolivia dibawah Presiden Evo Morales;
4. Nasionalisasi aset migas Venezuela dibawah Presiden Hugo Chavez.

Nasionalisme era sekarang memang perlu diwujudkan dalam kecerdikan mengelola peluang yang timbul dari globalisasi dengan semangat meningkatkan kesejahteraan rakyat, harkat dan martabatnya tidak hanya sekedar janji-janji saat akan meraih kekuasaan dengan dukungan para pemilik modal baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Globalisasi mengarah pada persaingan antar bangsa dan antar negara yang dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi, budaya dan peradaban.

Setelah krisis ekonomi yang berlangsung sudah 8 tahun lalu, sejak tahun 1997 dan sudah 4 (empat) kali pergantian presiden (pasca Orde Baru), tetap saja kalau soal peranan hutang dan modal asing selalu lancar-lancar saja, artinya tetap mau "dijajah". Biarpun MPR waktu itu sudah memerintahkan penghentian kerjasama dengan IMF, namun pemerintah dibawah para teknokrat ekonomi yang berpandangan neoliberalisme sulit melepas diri dari cengkeraman IMF. Hal tersebut dengan semakin menguatkan masa"korporatokrasi", yakni menyatunya kekuatan sejumlah korporasi besar seperti Rio Tinto, Freeport, Newmont, Exxon Mobil, Shell yang kawin dengan kekuatan politik dari pemerintah yang kapitalis disokong perbankan untuk menguras Sumber Daya Alam dan menjajah kembali bangsa-bangsa yang mau dijajah. Oleh karena diperlukan seorang pemimpin bangsa yang berani dan tidak gentar terhadap tekanan arus globalisasi, hal tersebut tentunya dapat diperoleh apabila kita sebagai bangsa memegang falsafah Pancasila sebagai pemersatu yang dijunjung diatas segala-galanya.

Seorang pemimpin bangsa sangat menetukan arah dan watak bangsa itu. Ketika bangsa ini dipimpin Soekarno, Indonesia mempunyai citra bangsa yang berani, tidak gentar terhadap tekanan, mandiri, dan diplomasi sehingga disegani dan selalu menjadi motor penggerak negara-negara berkembang. Citra bangsa yang kuat dari tekanan negara maju saat ini ditunjukkan oleh Palestina dengan kemenangan kelompok Hamas, Irak dibawah Saddam Husein yang akhirnya harus dibombardir hanya alasan tidak demokratis, Iran dibawah Presiden Mahmoud Ahmadinejad dengan tegas menolak keputusan badan Internasional (PBB) karena pengembangan teknologi nuklir untuk perdamiaan dan bukan monopoli negara maju, Korea Utara, Malasyia dibawah Mahathir Muhammad, China yang melawan prinsip WTO dan akhir-akhir ini Brasil, Venezuela dan Bolivia.

Keputusan Bolivia dibawah pimpinan Presiden Evo Morales menasionalisasi usaha eksploitasi minyaknya merupakan kebijakan yang berani dan mengejutkan banyak pihak karena dianggap melawan prinsip globalisasi yang sedang dilaksanakan negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Terlambat atau tidak, tekad Bolivia menasinalisasi eksplorasi sumber daya alamnya untuk kepentingan nasional ini menunjukkan adanya kebangkitan dan keberanian seorang pemimpin untuk menyelamatkan bangsanya sendiri.

Ketimpangan ekonomi dunia saat ini sedang dirasakan negara-negara berkembang. Negara berkembang yang kaya sumber daya alam selama ini justru lebih miskin ketimbang negara maju. Negara maju dengan berbagai alasan bisa mengeksploitasi sumber daya alam negara berkembang. Celakanya, negara maju pembawa modal dan teknologi ini justru mendapat bagian yang jauh lebih besar daripada pemilik sumber daya alam itu. Akibatnya negara berkembang kaya alam itu tidak dapat menikmati hasil karena sebagian besar dibawa lari ke negara maju.

Nasionalisasi Bolivia tidak sepenuhnya salah, kalaupun nasionalisasi itu berdampak pada cadangan dan harga minyak dunia merupakan pengaruh tidak langsung. Jadi, jangan kebijakan Bolivia dianggap sebagai perusak ekonomi dunia. Bolivia ingin makmur dari pengelolaan hasil kekayaan sendiri, tidak tertekan apalagi bergantung pada lembaga internasional lainnya. Hal ini juga dilakukan oleh China dan Malasyia dibawah Mahathir Muhammad.

Kepemimpinan yang bisa menjadi role model dan lebih mandiri terbukti mengantarkan China dan Malasyia lebih maju ketimbang Indonesia. Boleh saja orang berpendapat prinsip globalisasi. Tetapi apa pendapat rakyat jika kediktatorannya itu terbukti membuat negaranya lebih maju dan makmur?. Bandingkan dengan Indonesia yang sudah berupaya melaksanakan demokrasi dalam segala bidang baik dalam konsepsi tatanan ketatanegaraan sampai lahirnya proses Amandemen terhadap UUD 1945 sampai 4 kali dengan dalih ingin perubahan yang mendasar tanpa memperhatikan prinsip ketatanegaraan yang sudah baku sehingga nampak jelas bangunan NKRI dibuat berwajah ganda antara sistem presidensial dan sistem parlementer yang berdampak pada produk Undang-Undang yang tidak berpihak pada rakyat, sebagai contoh konsepsi penataan ketenagakerjaan sampai lahirnya paket UU Ketenagakerjaan (UU No 21 Tahun 2000, UU No 13 Tahun 2003 dan UU No 2 Tahun 2004) yang lebih berpihak pada pemilik modal, perlindungan HAM dan menandatangi perdagangan bebas baik AFTA, NAFTA dan bagian dari WTO. Hingga kini, Indonesia justru terpojok karena dinilai belum demokratis, dan pelanggar HAM. Akibat tekanan ini kekayaan alam harus beralih ke pihak asing dan pertumbuhan ekonomi nasional dikendalikan oleh negara-negara maju.

Saat ini, Indonesia bisa bangga terpilih sebagai anggota Dewan Hak Asasi PBB dengan dukungan 165 negara. Tetapi, bisakah bangsa ini membela dirinya sendiri ketika dituduh sebagai pelanggar HAM? Seorang anak bangsa Enrico Gueteres yang membela keutuhan NKRI di penjara sebagai pelaku pelanggar HAM. Dan, bisakah bangsa ini menolak sanksi pelanggaran HAM yang selalu dituduhkan Amerika kepada negara-negara tertindas?. Satu hal yang sangat krusial bahwa kita sebagai bangsa yang besar baik sebagai negara agraris, bahari, kekayaan sumber daya alam (minyak bumi, gas, nikel, dll) ironis sekali kita anggota OPEC tapi mengimpor minyak, impor beras, kedelai, daging ayam, dan menyitir sabutan Wakil Presiden kita bahwa pakar-pakar pertanian dari IPB sudah banyak yang mempunyai posisi strategis di Republik ini bahkan Presiden kita seorang Doktor jebolan IPB, Wakil Presiden kita Wali Amanah IPB tidak mampu memformulasikan peningkatan hasil bumi yang mampu mencukupi hajat hidup rakyat.

Sudah saatnya kita semua untuk bisa saling bahu-membahu agar bisa memberikan arti yang sesungguhnya kepada para pemimpin bangsa ini bahwa "Vox Populi, Vox Dei" (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan) mampu memberikan daya dorong untuk bisa hidup berdikari tanpa ada tekanan dari para kaum imperialisme dan kapitalisme yang sudah menjadi janin dan tumbuh dalam kehidupan kita tanpa terasa dengan pola budaya komsumerisme, politik media/pencitraan/iklan yang telah tanpa terasa menghayutkan sendi-sendi agar budaya kita yang bercirikan Pancasila 1 Juni 1945.

Bolivia dan Indonesia merupakan dua bangsa yang berbeda pandangan. Bolivia tidak pernah memuat prinsip ekonomi kerakyatan pada UUD-nya, tetapi berupaya memakmurkan rakyat dari hasil alamnya. Sebaliknya, Indonesia yang berjanji pada pasal 33 UUD 1945 sebagai penterjemahan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila justru tidak bisa memanfaatkan kekayaan alamnya untuk kemakmuran rakyatnya. Bagaimana ini bisa terjadi ?

*Ketua DPD Pemuda Demokrat Indonesia Provinsi Banten

Tidak ada komentar:

Posting Komentar