SELAMAT DATANG KAWAN

Merdeka !!!
Marhaen Jaya

Kawan-kawan seperjuangan dalam hidup, marilah kita selalu senantiasa bersyukur kepadaNYA yang telah memberikan nikmat sehat, sehingga mampu berkarya demi keutamaan sebagai manusia yang mampu memberikan manfaat bagi sesama.

Untuk itu, kita sebagai kader bangsa harus senantiasa ingat & melaksanakan ajaran Bung Karno tentang faham :
Marhaenisme
– Sosio-Nasionalisme
Nasionalisme yang berperi-kemanusiaan.
– Sosio-Demokrasi
Demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan
keberesan ekonomi yang berke-Tuhan-an YME.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menuntun arah gerak kita guna mengawal 4 PILAR KEBANGSAAN (Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika).



KONFERDA I PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA PROVINSI BANTEN

KONFERDA I PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA PROVINSI BANTEN
HOTEL ABADI - SERANG, 25 MEI 2008

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KOTA TANGERANG SELATAN

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KOTA TANGERANG SELATAN
AULA KANTOR CAMAT CIPUTAT, 29 NOVEMBER 2009

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KAB. TANGERANG

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KAB. TANGERANG
CITRA RAYA-CIKUPA, 22 FEBRUARI 2009

HUT PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KE-62

HUT PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KE-62
LOMBA KARYA TULIS PELAJAR SE-KAB. TANGERANG TGL 31 MEI 2009

LEADERSHIP CAMP FOR STUDENTS

LEADERSHIP CAMP FOR STUDENTS
CISOKA, 1-2 OKTOBER 2005

Selasa, 19 Januari 2010

TRAGEDI SAMANHOEDI

Oleh : A. Suryana Sudrajat

30 Aug 2007


Penduduk laki-laki—termasuk orang Eropa, Indo, Tionghoa, dan bayi ,, paling banyak 60.000 jiwa. Tapi pada awal Agustus 1912, Asisten Residen Surakarta memperkirakan jumlah anggota Sarekat Islam di daerahnya sudah mencapai 35.000 orang. Bukan omong kosong jika hampir semua bumiputra dan muslim di kota itu dikatakan bergabung dengan SI. Kecuali pegawai tinggi dan pangeran dari Kasununan dan Mangkunegaran.

Residen Surakarta mulai gelisah, dimana-mana muncul aksi solidaritas. Bahkan di beberapa perkebunan para petani mulai mogok, menolak kerja paksa. Karena itulah, pada 10 Agustus, ia memerintahkan semua kegiatan SI dihentikan, termasuk acara-acara pertemuan dan penerimaan anggota baru. Residen juga memerintahkan polisi menggerebek kantor SI, sekalian menggeledah rumah anggota pengurus.

Tindakan mendadak itu membuat Haji Samanhoedi dkk panik. Para hoofdebstuur itu tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Kegiatan organisasi memang sudah dibekukan, karena memasuki bulan puasa. Tapi ke depan? Untuk itu, mereka mengundang dua anggota dari Surabaya: Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto, teknikus pabrik gula Rogojampi, dan Raden Tjokrosoedarmo, juru tulis kantor notaris Belanda. Mereka menemukan celah. Yakni, dari segi hukum, perintah Residen itu hanya berlaku bagi SI yang anggaran dasarnya disusun Tirtoadhisoerjo dan di lingkungan Surakarta. Hoofdebstuur kemudian memberi mandat kepada Tjokro, yang juga ditunjuk sebagai komisaris, untuk membuat AD yang baru, sambil memperluas SI di luar Sala.

Dibantu Tjokrosaodarmo, Tjokro yang Oemar Said menyelesaikan tugasnya 14 September. Dan, dalam waktu yang hampir bersamaan SI sudah menyebar di seluruh Jawa dan Madura. Afdeeling-afdeeling-nya tumbuh bak jamur diguyur hujan. Pamor Tjokro dalam sekejap meroket: ia menempati posisi sentral. Bukan hanya karena ia hoofdebstuur di Oetoesan Hindia, tapi juga karena kehebatan orasinya yang tanpa tandingan. Setahun kemudian, ia menjadi wakil ketua hoofdebstuur. Dan pada April 1914. lewat pertarungan yang sengit, menjadi orang nomor satu. Sementara Haji Samanhoedi, yang kalah, diangkat sebagai ketua kehormatan. Sayang, setelah kongres Yogya itu, Haji yang sebenarnya pendiri SI ini tidak pernah nongol lagi.

Ini sebuah perkembangan yang luar biasa pesat. Bayangkan, sebelumnya pada 26 Januari 1913, ketika berlangsung kongres pertama SI di Surabaya, H. Samanhoedi mendapat sambutan besar-besaran. Di stasiun, Pak Haji dielu-elukan korps musik dan massa yang diperkirakan 5.000 orang --- sampai-sampai dia tidak berjalan ke mobil, tetapi didukung. Kongres dihadiri sekitar 10.000 orang dan dipimpin Oemar Said Tjokroaminoto, yang belum lama dilantik jadi anggota.

Hanya dua bulan kemudian, 23 Maret, SI mengadakan kongres kedua di Surakarta. Berlangsung di halaman istana Susuhunan dan menjelang malam dilakukan pemilihan central comite (pengurus besar). Sebagai ketua CC terpilih H. Samanhoedi, dan wakilnya Tjokroaminoto. Kongres ini juga dipimpin Tjokro yang sampai 1926, tahun ia berhaji, belum memakai nama HOS. Diperkirakan hadir 20.000 orang. Menurut laporan, kereta api dari jawa timur disesaki para kongresisten, dan di setiap stasiun yang dilewati disambut sesama anggota dan, jangan lupa, korp musik.

Setelah itu SI berkembang pesat. Pada 1916 sudah punya 180 cabang, dengan jumlah anggota 700.000 orang. Bandingkan dengan Boedi Oetomo yang puncak kejayaannya, 1909, hanya punya 10.000 anggota.

Peranan Samanhoedi di SI setelah kongres Yogya itu memang kian surut. Meskipun diangkat sebagai ketua kehormatan – dan konon dia senang menerimanya – perselisihan antara kubu Samanhoedi dan kubu Tjokro tidak bisa dibendung dan amalah dilanjutkan di pers. Yang paling keras, polemik antara majalah Doenia Bergerak yang dipimpin Marco, wartawan, pengarang dan paman Kartosoewirjo, dan Oetoesan Hindia yang didirikan Tjokro. Samanhoedi kemudian bergabung dengan Goenawan, wakil ketua CC, yang ingin memisahkan diri. Goenawan kabarnya sakit hati kepada pengurus CC, terutama Tjokro, yang bungkam ketika Tjipto Mangoenkoesoemo menuduhnya, lewat majalah Modjopahit, menggunakan sebagian besar kas SI Jawa Barat untuk kepentingan pribadi. Kebungkaman itu diartikannya sebagai ketidakpercayaan pengurus kepada dirinya. Malangnya, hanya sedikit yang mendukung Samanhoedi – Goenawan – sampai akhirnya mereka tidak cukup lagi punya pengikut untuk meneruskan perpisahan dengan organisasi induk. Pers Indonesia yang netral menyesalkan perpisaan itu – “hanya menguntungkan orang Eropa dan Cina”, kata mereka.

Menurut Korver, tidak sulit menjawab Samanhoedi terdesak dalam waktu singkat. Tokoh ini lahir di Desa Sondokoro, afdeling Surakarta. Tahunnya tak pasti. A.D. Rinkes, penasihat pemerintah untuk urusan pribumi, menaksir umurnya pada 1913 kira-kira 35 tahun. Ayahnya saudagar batik. Di masa kanak-kanaknya, orang tuanya pindah ke Lawean. Di sini ia masuk Sekolah Dasar ”Kelas Dua”, dan bekerja di perusahaan ayahnya setelah tamat. Lalu membuka usaha sendiri, punya cabang di Bandung, Surabaya, dan kota-kota lain. Dia dikenal Saleh, dan pada 1904 berangkat berhaji.

Untuk ukuran Lawean, kepemimpinan Samanhoedi bagus. Tetapi ketika SI mulai merambah seluruh Jawa, kemampuan memimpinnya tampak kurang. Menurut Rinkes, ia tidak berpendidikan, juga tidak di bidang agama, sama sekali tak punya bakat orator maupun kebiasaan yang ”agak kekotaan”, dan serba salah dalam setiap tindakan yang dipengaruhi pengertian Eropa. Alhasil, tidak memenuhi gambaran pemimpin suatu gerakan besar.

Padahal dia juga punya pengetahuan yang jauh diluar soal-soal Lawean. Misalnya, dia menyusun daftar keluhan dan perbaikan yang akan disampaikan pada pertemuan pengurus SI dengan Gubernur Jenderal Indenburg Juni 1913. Di situ dia menyinggung diskriminasi upah antara orang Eropa dan pribumi untuk pekerjaan yang sama, perlunya memensiunkan Bupati yang sudah terlalu tua, dan diperluasnya kesempatan masuk Sekolah Dasar “Kelas Satu” (HIS). Sayang, akibat kecanggungannya, ia lupa menyerahkan dokumen itu kepada Idenburg.

Sebuah tragedi. Awal 1913, massa rakyat Surabaya masih menyambutnya sebagai “Bapak SI”. Beberapa tahun kemudian dia sudah dilupakan. Seorang pendiri sebuah gerakan, yang mengutamakan seperti saling membantu, membagi perasaan aman, dan memperkukuh kesetiakawanan. Kepemimpinan Samanhoedi yang tradisional, sebenarnya lebih dekat kepada aspirasi massa, ketimbang reken-rekannya yang berpendidikan Barat dan lebih pandai bicara. Sedihnya, kepada mereka itu pula dia harus memberikan tempat.

Satu hal lagi harus dicatat. Menurut Korver, Samanhoedi mendirikan SI bukan untuk menghalau pengusaha Cina dari sektor batik. Benar, terbentuknya SI pada 1912 berlatar konflik orang Cina dan orang Jawa – yang sebelumnya bersama-sama membentuk semacam organisasi rahasia bernama Kong Sing, untuk bantu-membantu dalam musibah kematian dan mencegah baku hantam. Tetapi konflik ini lebih bersifat politis dan sosial ketimbang ekonomi. Misalnya, sikap kalangan Cina (setelah kemenangan bangsa Tionghoa atas bangsa Manchu di Cina Daratan) yang dianggap angkuh kepada para pengusaha jawa, sementara si Jawa sudah merasa terhina oleh pihak bangsawan dan Eropa. Tapi masa-masa kemudian menunjukkan hubungan yang wajar antara kedua pihak. Jadi politis, bukan ekonomis. Tapi sejarah kemudian memberikan kelanjutannya.

Tidak semua perintis menikmati kemasyhuran, memang. Juga Samanhoedi, yang di masa tuanya tinggal di gubuk buruk berlantai tanah, berdinding tepas, di daerah pingiran Klaten. Dia tinggal bersama cucunya yang PKI. Setelah lama ditelan masa, pada tahun 1950-an, kata Deliar Noer dalam otobiografinya (1966), Samanhoedi mulai muncul lagi di Jakarta memenuhi undangan partai (SI), ”namun dalam keadaan benar-benar laruik sanjo ... Aku sedih melihat penderitaan Samanhoedi. Bagai tak ada yang peduli, tinggal diasuh oleh belahan keluarga sendiri yang tidak berkecukupan pula,” tulis Deliar, yang menemui Samanhoedi ketika sedang berbaring di tempat tidur buatan lama dari besi, di gubuknya di pinggiran Klaten itu. Waktu itu Deliar sedang riset dalam rangka doktornya tentang gerakan modern Islam di Indonesia.

Tidak semua perintis menikmati kemasyhuran. Juga Samanhoedi, orang besar yang menjalani sisa hidupnya di gubuk buruk di pinggiran kota itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar