SELAMAT DATANG KAWAN

Merdeka !!!
Marhaen Jaya

Kawan-kawan seperjuangan dalam hidup, marilah kita selalu senantiasa bersyukur kepadaNYA yang telah memberikan nikmat sehat, sehingga mampu berkarya demi keutamaan sebagai manusia yang mampu memberikan manfaat bagi sesama.

Untuk itu, kita sebagai kader bangsa harus senantiasa ingat & melaksanakan ajaran Bung Karno tentang faham :
Marhaenisme
– Sosio-Nasionalisme
Nasionalisme yang berperi-kemanusiaan.
– Sosio-Demokrasi
Demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan
keberesan ekonomi yang berke-Tuhan-an YME.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menuntun arah gerak kita guna mengawal 4 PILAR KEBANGSAAN (Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika).



KONFERDA I PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA PROVINSI BANTEN

KONFERDA I PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA PROVINSI BANTEN
HOTEL ABADI - SERANG, 25 MEI 2008

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KOTA TANGERANG SELATAN

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KOTA TANGERANG SELATAN
AULA KANTOR CAMAT CIPUTAT, 29 NOVEMBER 2009

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KAB. TANGERANG

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KAB. TANGERANG
CITRA RAYA-CIKUPA, 22 FEBRUARI 2009

HUT PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KE-62

HUT PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KE-62
LOMBA KARYA TULIS PELAJAR SE-KAB. TANGERANG TGL 31 MEI 2009

LEADERSHIP CAMP FOR STUDENTS

LEADERSHIP CAMP FOR STUDENTS
CISOKA, 1-2 OKTOBER 2005

Kamis, 15 April 2010

NGAJI DIRI

Alhamdulillah di era tanpa batas, kita semua bisa semakin paham akan arti nilai2 Islam yang Universal yang bisa diimplementasikan di tengah-tengah kehidupan kita.


Mari coba kita renungkan bersama apakah kita semua sudah menjalankan tata laku NGAJI diri sesuai Al Qur'an & Hadist? Manusia di seluruh muka bumi ini rasanya kalau bisa NGAJI diri secara Kaffah tentunya akan terbangun Islam Rahmatan Lil Alamin. Dalam diri kita Manusia terdiri dari 9 lobang (2 lobang di mata, 2 lobang di hidung, 2 lobang di telinga, 1 lobang di mulut, 1 lobang di alat vital dan 1 lobang dubur).
Apakah kita akan mau menghayati dari 9 lobang tersebut, mata tentukan diberikan oleh Sang Khalik dipergunakan melihat yang baik-baik sehingga dengan kesejukan dan kearifan tatapan mata terpancar kedamaian. Kita sebagai hamba yang masih jauh dari kesempurnaan tentunya akan selalu menjaga tutur kata dengan tidak menimbulkan fitnah, penghasutan dan menjadi provokator di sekitar kita. Kalau hal ini bisa kita kendalikan tentunya tidak akan pernah kita lihat pertengkaran bahkan peperangan antar bangsa sebagai akibat ucapan sang pemimpin suatu kaum.
Dalam pandangan orang-orang Sufi mengakui bahwa pencarian makna utuh Tuhan mewujud dalam kehidupan alam dunia bisa kita katakan Tuhan itu Satu, Sendiri, Tunggal, Kekal, Abadi, Berpengetahuan, Berkuasa, Hidup, Mendengar, Melihat, Kuat, Kuasa, Agung, Besar, Dermawan, Pengampun, Bangga, Dahsyat, Tak Berkesudahan, Pertama, Tuhan, Rabb, Penguasa, Pemilik, Pengasih, Penyayang, Berkehendak, Berfirman, Mencipta, Menjaga.

Sebagai gambaran pencarian tentang ILAHI pernah dilakukan oleh Husain ibn Mansur al-Hallaj barangkali adalah syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: “Akulah Kebenaran”, ucapan mana yang membuatnya dieksekusi secara brutal. Bagi para ulama ortodok, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid’ah, sebab Islam eksoteris tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran (Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut.

Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, “Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, ‘Akulah Kebenaran’, padahal itu kata-kata Allah sendiri!”. Di dalam syair epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, “Kata-kata ‘Akulah Kebenaran’ adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir’aun adalah kezaliman.”

Seperti digambarkan dalam kisah Dewa Ruci tentang Sosok Dewa Ruci dan Werkudara. Rupanya ada nasehat dan maksud yang ingin disampaikan yaitu :

jangan berangkat sebelum tahu tujuanmu,
jangan menyuap sebelum mencicipnya.
tahu hanya berawal dari bertanya,
bisa berpangkal dari meniru,
sesuatu terwujud hanya dari tindakan.

Sang Khalik telah menciptkan ini semua kepada kita, tinggal mau atau tidak kita untuk NGAJI diri, bukan hanya sekedar membaca tapi coba untuk di kaji. Syekh Lemah Abang sebagai juga salah satu hamba ALLAH SWT yang mencari makna “ngaji diri” walau dianggap sangat kontroversi, tapi sebagian makna pencarian hidup telah banyak diikuti dengan tata laku layaknya manusia biasa. Ini hanyalah salah satu yang namanya manusia yang proses pencarian kepadaNYA sudah "terbukti" mampu ketemu denganNYA.

Salam damai dari empat penjuru mata angin
TOPARI

POLIGAMI DALAM GAMBARAN (Perbandingan dalam Hukum Perkawinan Indonesia dan Hukum Islam)*

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.


Adalah sebuah rangkaian kalimat yang teramat indah jika memang memang dapat terjadi seperti peruntukannya, yaitu keluarga yang bahagia dan kekal. Tidak ada suatu definisi yang pasti mengenai bahagia. Tiap orang memiliki definisi tersendiri mengenai bahagia itu, sehingga apabila bicara mengenai definisi bahagia saja, tidak akan ada habisnya, namun dalam penulisan makalah ini, hanya akan di ambil satu definisi saja yang kira-kira dapat menjadi sebuah rangkuman dari sekian banyak definisi tentang bahagia. Bahagia adalah apabila kita tidak merasa khawatir, tidak was-was, tidak sedih. Sedangkan "kekal" berarti tetap (tidak berubah, tidak bergeser, dan sebagainya); selama-lamanya; abadi; lestari.

Atas dasar kedua definisi yang merupakan tujuan perkawinan itu, penulis mencoba untuk menyimpulkan bahwa perkawinan dilaksanakan agar terjadi ikatan dimana kedua belah pihak yaitu baik pria maupun wanita merasa tidak khawatir, tidak was-was, tidak sedih untuk selama-lamanya. Tidak khawatir karena ikatan yang terjadi adalah ikatan yang legal menurut hukum dan agama masing-masing pihak, tidak was-was akan jalannya hubungan perkawinan dikemudian hari, tidak sedih akibat perilaku pasangan dalam hubungan perkawinan dan hal tersebut berlangsung selama hubungan perkawinan berlangsung.

Namun sebagaimana halnya roda kehidupan yang terus berputar, yang mengakibatkan kehidupan manusia berada diatas dan dibawah, hubungan perkawinanpun tidak selamanya selalu sesuai dengan kemauan orang-orang yang menjalankannya. Salah satu permasalahan yang timbul dalam hubungan perkawinan seperti yang saat ini tengah marak diperbincangkan, diperdebatkan, dicari solusi penyelesaiannya adalah Poligami.

Poligami adalah sebuah hubungan perkawinan, dimana seorang suami memiliki lebih dari satu orang istri.

Dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan), poligami menjadi suatu hal yang diatur dan diperbolehkan secara bersyarat. Pasal 4 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa: “Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya”. Sedangkan dalam ayat (2) dikatakan: “Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.”

Untuk mengajukan permohonan kepada Pengadilan pun, seorang suami yang ingin melakukan poligami berkewajiban untuk memenuhi persyaratan yang juga diatur dalam undang-undang tersebut, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu ”adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.” Namun, persetujuan dimaksud ternyata dapat dikecualikan dengan adanya kondisi dimana jika isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Dewasa ini, dengan lahirnya gerakan-gerakan yang menamakan diri sebagai feminist, yaitu sebuah gerakan yang mengatasnamakan ’gender’ kewanitaan, persoalan poligami kembali mencuat kepermukaan. Dimulai sebagai akibat diluncurkannya ”award” bagi pelaku poligami yang dimotori oleh Bapak Puspowardhoyo, salah satu pengusaha restoran terkemuka di negeri ini, para feminist menggaungkan keberatan-keberatannya melalui berbagai wacana dan media.

Dalam sebuah artikel yang dibuat oleh Maria Ulfah Anshor, Ketua Umum PP Fatayat NU (2000-2004), Sekretaris Eksekutif Puan Amal Hayati, dikemukakan mengenai perlunya sanksi hukum dalam pengaturan poligami. Dikatakan bahwa saat ini terdapat tiga versi draf usulan perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masing-masing dibuat oleh Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kowani, dan LBH-Apik. Ketiga-tiganya menolak, setidaknya memperketat poligami, dengan argumentasi yang sama, yaitu poligami merupakan bentuk subordinasi laki-laki terhadap perempuan karena semata-mata didasarkan pada superioritas dan kepentingan laki-laki. Perempuan dalam hal ini selalu dalam posisi sebagai obyek, apakah dalam status sebagai istri pertama maupun kedua, dan seterusnya. Ketiganya juga menyimpulkan bahwa dalam UU Perkawinan masih terdapat banyak pasal yang harus disempurnakan karena tidak sesuai prinsip kesetaraan dan keadilan jender.

Mengenai persyaratan pengajuan permohonan poligami oleh suami kepada Pengadilan dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan pun dikomentari dalam artikel Maria Ulfah Anshor. Dikatakan bahwa kondisi yang disebutkan dalam pasal tersebut dapat terjadi pada suami maupun istri. Indikasi ketiga syarat tersebut harus jelas dan disertai pembuktian pihak berwenang seperti tim dokter ahli yang independen yang tidak berpihak, keputusan pengadilan yang ditandatangani pejabat pengadilan dan sebagainya. Tetapi, UU Perkawinan tidak mengatur bila ketentuan itu dilanggar suami maupun pihak pengadilan yang berkolusi dengan suami

Mengenai syarat lain poligami yang disebutkan dalam Pasal 5 UU Perkawinan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam makalah ini, dikatakan bahwa tolok ukurnya sangat sulit karena keperluan hidup seseorang, baik sebagai istri maupun anak- anak, terdiri atas dua komponen yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi dan nonmateri secara bersamaan. Begitu juga pengertian mampu, yang meliputi material dan nonmaterial. Selama ini, tolok ukurnya selalu menurut ukuran suami, bukan menurut ukuran dan perasaan istri, dan bukan pula kesepakatan kedua belah pihak.

Tidak ada yang bisa menjamin ketika suami gilir pada istri tua dia menghadirkan seluruh jiwa raga, pikiran, khayalan, dan perasaannya, bebas dari pengaruh istri mudanya. Sesuatu yang sangat tidak mungkin terjadi. Dalam hal ini Allah secara tegas mengatakan, "Dan tidaklah kamu sanggup berlaku adil kepada istri-istrimu sekalipun kamu sangat menghendakinya" (QS An-Nisa: 129). Terhadap pelanggaran pasal ini pun tidak diatur apa sanksinya.

LBH-Apik, yaitu sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang bantuan hukum untuk perempuan, mengusulkan praktik poligami dihapuskan sama sekali karena bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM, UU No 1/1984, GBHN 1999, dan Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Konsekuensinya Pasal 3 Ayat 2 dihapuskan, begitu juga Pasal 4 dan 5. Sementara Kowani mengusulkan untuk mempersulit praktik poligami melalui pasal-pasal tersebut dengan menambahkan persetujuan tertulis dari istri dan anak-anaknya yang telah dewasa yang dibuat di hadapan pejabat pengadilan. Suami menjamin tidak menceraikan istri pertama kecuali atas permintaan yang bersangkutan dengan tetap mendapat tunjangan hidup dari suami sampai si istri menikah lagi. Dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan memperketat praktik poligami melalui Pasal 4 dengan menambahkan syarat harus dengan keterangan dokter ahli.

Pasal lain yang perlu disempurnakan adalah Pasal 2 Ayat 2: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku". Pengertiannya, semua perkawinan yang memenuhi syarat sesuai peraturan perundangan harus dicatat pihak berwenang. Bila tidak, secara hukum perkawinannya tidak sah dan pelakunya wajib dikenai sanksi. Persoalannya, sekali lagi, UU Perkawinan tidak mencantumkan sanksi.

Selanjutnya dikatakan bahwa kondisi-kondisi mengenai poligami seharusnya tidak dimasukkan dalam Bab I Dasar Perkawinan karena poligami bukan prinsip dasar perkawinan maupun prinsip dasar syar’iyyah. Poligami sebagai pengecualian yang amat sangat darurat dan harus diatur dalam pasal tersendiri lengkap dengan sanksi hukumnya.

Sedangkan permasalahan poligami dalam sudut pandang hukum Islam, seringkali menimbulkan pro dan kontra, dimana kedua pihak masing-masing sama-sama memiliki dalil dalam mengedepankan pendapatnya. Dalam penulisan makalah ini, penulis hanya akan mencoba merangkum dari beberapa pendapat yang telah dipublikasi, dikemukakan dan bahwa dijadikan alasan pembenar oleh kedua belah pihak.

Faqihuddin Abdul Kodir, seorang Dosen STAIN Cirebon dan peneliti Fahmina Institute Cirebon, Alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah, dalam artikel yang di tulis pada sebuah website mengatakan UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).

DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).

Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".

Dalam definisi fikih, sunah berarti tindakan yang baik untuk dilakukan. Umumnya mengacu kepada perilaku Nabi. Namun, amalan poligami, yang dinisbatkan kepada Nabi, ini jelas sangat distorsif. Alasannya, jika memang dianggap sunah, mengapa Nabi tidak melakukannya sejak pertama kali berumah tangga?

Nyatanya, sepanjang hayatnya, Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami. Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi SAW bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid RA, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".

Sunah, seperti yang didefinisikan Imam Syafi’i (w. 204 H), adalah penerapan Nabi SAW terhadap wahyu yang diturunkan. Pada kasus poligami Nabi sedang mengejawantahkan Ayat An-Nisa 2-3 mengenai perlindungan terhadap janda mati dan anak-anak yatim. Dengan menelusuri kitab Jami’ al-Ushul (kompilasi dari enam kitab hadis ternama) karya Imam Ibn al-Atsir (544-606H), kita dapat menemukan bukti bahwa poligami Nabi adalah media untuk menyelesaikan persoalan sosial saat itu, ketika lembaga sosial yang ada belum cukup kukuh untuk solusi.

Bukti bahwa perkawinan Nabi untuk penyelesaian problem sosial bisa dilihat pada teks-teks hadis yang membicarakan perkawinan-perkawinan Nabi. Kebanyakan dari mereka adalah janda mati, kecuali Aisyah binti Abu Bakr RA.

Selain itu, sebagai rekaman sejarah jurisprudensi Islam, ungkapan "poligami itu sunah" juga merupakan reduksi yang sangat besar. Nikah saja, menurut fikih, memiliki berbagai predikat hukum, tergantung kondisi calon suami, calon istri, atau kondisi masyarakatnya. Nikah bisa wajib, sunah, mubah (boleh), atau sekadar diizinkan. Bahkan, Imam al-Alusi dalam tafsirnya, Rûh al-Ma’âni, menyatakan, nikah bisa diharamkan ketika calon suami tahu dirinya tidak akan bisa memenuhi hak-hak istri, apalagi sampai menyakiti dan mencelakakannya. Demikian halnya dengan poligami. Karena itu, Muhammad Abduh dengan melihat kondisi Mesir saat itu, lebih memilih mengharamkan poligami.

Dalam kitab Ibn al-Atsir, poligami yang dilakukan Nabi adalah upaya transformasi sosial (lihat pada Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 108-179). Mekanisme poligami yang diterapkan Nabi merupakan strategi untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam tradisi feodal Arab pada abad ke-7 Masehi. Saat itu, nilai sosial seorang perempuan dan janda sedemikian rendah sehingga seorang laki-laki dapat beristri sebanyak mereka suka.

Sebaliknya, yang dilakukan Nabi adalah membatasi praktik poligami, mengkritik perilaku sewenang-wenang, dan menegaskan keharusan berlaku adil dalam berpoligami.

Ketika Nabi melihat sebagian sahabat telah mengawini delapan sampai sepuluh perempuan, mereka diminta menceraikan dan menyisakan hanya empat. Itulah yang dilakukan Nabi kepada Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi RA, Wahb al-Asadi, dan Qais bin al-Harits. Dan, inilah pernyataan eksplisit dalam pembatasan terhadap kebiasan poligami yang awalnya tanpa batas sama sekali.

Pada banyak kesempatan, Nabi justru lebih banyak menekankan prinsip keadilan berpoligami. Dalam sebuah ungkapan dinyatakan: "Barang siapa yang mengawini dua perempuan, sedangkan ia tidak bisa berbuat adil kepada keduanya, pada hari akhirat nanti separuh tubuhnya akan lepas dan terputus" (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 168, nomor hadis: 9049). Bahkan, dalam berbagai kesempatan, Nabi SAW menekankan pentingnya bersikap sabar dan menjaga perasaan istri.

Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib RA. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad SAW, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib RA. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga." (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Sama dengan Nabi yang berbicara tentang Fathimah, hampir setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu. Seperti dikatakan Nabi, poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.

Jika pernyataan Nabi ini dijadikan dasar, maka bisa dipastikan yang sunah justru adalah tidak mempraktikkan poligami karena itu yang tidak dikehendaki Nabi. Dan, Ali bin Abi Thalib RA sendiri tetap bermonogami sampai Fathimah RA wafat.

Sebenarnya, praktik poligami bukanlah persoalan teks, berkah, apalagi sunah, melainkan persoalan budaya. Dalam pemahaman budaya, praktik poligami dapat dilihat dari tingkatan sosial yang berbeda.

Bagi kalangan miskin atau petani dalam tradisi agraris, poligami dianggap sebagai strategi pertahanan hidup untuk penghematan pengelolaan sumber daya. Tanpa susah payah, lewat poligami akan diperoleh tenaga kerja ganda tanpa upah. Kultur ini dibawa migrasi ke kota meskipun stuktur masyarakat telah berubah. Sementara untuk kalangan priayi, poligami tak lain dari bentuk pembendamatian perempuan. Ia disepadankan dengan harta dan takhta yang berguna untuk mendukung penyempurnaan derajat sosial lelaki.

Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan. Mengambil pandangan ahli pendidikan Freire, dehumanisasi dalam konteks poligami terlihat mana kala perempuan yang dipoligami mengalami self-depreciation. Mereka membenarkan, bahkan bersetuju dengan tindakan poligami meskipun mengalami penderitaan lahir batin luar biasa. Tak sedikit di antara mereka yang menganggap penderitaan itu adalah pengorbanan yang sudah sepatutnya dijalani, atau poligami itu terjadi karena kesalahannya sendiri.

Dalam kerangka demografi, para pelaku poligami kerap mengemukakan argumen statistik. Bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah kerja bakti untuk menutupi kesenjangan jumlah penduduk yang tidak seimbang antara lelaki dan perempuan. Tentu saja argumen ini malah menjadi bahan tertawaan. Sebab, secara statistik, meskipun jumlah perempuan sedikit lebih tinggi, namun itu hanya terjadi pada usia di atas 65 tahun atau di bawah 20 tahun. Bahkan, di dalam kelompok umur 25-29 tahun, 30-34 tahun, dan 45-49 tahun jumlah lelaki lebih tinggi. (Sensus DKI dan Nasional tahun 2000; terima kasih kepada lembaga penelitian IHS yang telah memasok data ini).

Namun, jika argumen agama akan digunakan, maka sebagaimana prinsip yang dikandung dari teks-teks keagamaan itu, dasar poligami seharusnya dilihat sebagai jalan darurat. Dalam kaidah fikih, kedaruratan memang diperkenankan. Ini sama halnya dengan memakan bangkai; suatu tindakan yang dibenarkan manakala tidak ada yang lain yang bisa dimakan kecuali bangkai.

Dalam karakter fikih Islam, sebenarnya pilihan monogami atau poligami dianggap persoalan parsial. Predikat hukumnya akan mengikuti kondisi ruang dan waktu. Perilaku Nabi sendiri menunjukkan betapa persoalan ini bisa berbeda dan berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Karena itu, pilihan monogami-poligami bukanlah sesuatu yang prinsip. Yang prinsip adalah keharusan untuk selalu merujuk pada prinsip-prinsip dasar syariah, yaitu keadilan, membawa kemaslahatan dan tidak mendatangkan mudarat atau kerusakan (mafsadah).

Dan, manakala diterapkan, maka untuk mengidentifikasi nilai-nilai prinsipal dalam kaitannya dengan praktik poligami ini, semestinya perempuan diletakkan sebagai subyek penentu keadilan. Ini prinsip karena merekalah yang secara langsung menerima akibat poligami. Dan, untuk pengujian nilai-nilai ini haruslah dilakukan secara empiris, interdisipliner, dan obyektif dengan melihat efek poligami dalam realitas sosial masyarakat.

Dan, ketika ukuran itu diterapkan, sebagaimaan disaksikan Muhammad Abduh, ternyata yang terjadi lebih banyak menghasilkan keburukan daripada kebaikan. Karena itulah Abduh kemudian meminta pelarangan poligami.

Dalam konteks ini, Abduh menyitir teks hadis Nabi SAW: "Tidak dibenarkan segala bentuk kerusakan (dharar) terhadap diri atau orang lain." (Jâmi’a al-Ushûl, VII, 412, nomor hadis: 4926). Ungkapan ini tentu lebih prinsip dari pernyataan "poligami itu sunah".

Pendapat lainnya dikemukakan oleh Jamal Ma’mur Asmani, pengurus harian Robithoh Ma’ahid Islamiyah Cabang Pati, direktur Perpustakaan Al-Hikmah Pati. Dikatakan bahwa Alquran mengakomodasi budaya yang berkembang waktu itu, karena poligami sudah mendarah daging bagi kalangan Arab, sehingga tidak mungkin Alquran langsung mengharamkannya. Alquran sekadar membatasi maksimal 4 perempuan. Pembatasan ini adalah kompromi ideologis-pragmatis.

Mengawali pendapatnya dari kasus poligami oleh Aa Gym dengan janda Alfarini Eridani yang mengundang kontroversi, Jamal Ma’mur mengatakan, bahwa sebagai seorang public figure, ustad kondang itu tentu menyadari implikasi sosial-politis pilihannya. Mayoritas wanita menyayangkan tokoh sekaliber Aa Gym yang begitu romantis, humoris, setia, dan ramah dengan istri dan jutaan penggemarnya, harus melakukan poligami, yang walaupun halal, tapi tetap menyakitkan bagi kaum perempuan.

Publik terbelah, antara mendukung dan menolak, sekaligus menyesalinya. Yang mendukung memberikan argumentasi kebolehan (kehalalan) poligami, apalagi kalau dengan tujuan menolong janda dan anak yatim yang terlantar sisi ekonomi dan pendidikannya.

Yang menolak dan menyesali, berargumen dari kacamata psikologis-sosial-agama, bahwa poligami Aa Gym sangat menyakitkan perasaan istri pertamanya yang begitu setia mendampinginya dalam suka dan duka, menyebabkan berkurangnya antusiasme jamaah pengajian Aa Gym yang kebanyakan wanita. Mereka umumnya memandang poligami sebagai sesuatu yang menodai ikatan cinta suci. Juga mempertanyakan sejauhmana kemampuan Aa Gym berbuat adil kepada kedua istrinya sebagai syarat mutlak yang diperintahkan Alquran.

Lebih jauh Jamal Ma’mur mengatakan bahwa Islam memperbolehkan poligami asalkan mampu berbuat adil kepada istri, baik dalam hal ekonomi, tempat tinggal, pakaian, perhatian, pendidikan, giliran, dan lain sebagainya. Teks Alquran yang membenarkan poligami ini adalah QS. Al-Nisa : 3 yang berbunyi: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Allah SWT juga mengingatkan kepada laki-laki yang berpoligami agar bersungguh-sungguh dan berhati-hati dalam menegakkan keadilan yang sulit untuk diwujudkan, tapi harus dilaksanakan: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS.Al-Nisa :129)

Kedua ayat yang menjadi pijakan hukum poligami ini menjadi perdebatan sengit para ulama dan intelektual. Dalam berbagai kitab tafsir, misalnya tafsir Al-Murah al-Labib al-Munir karangan Imam Nawawi al-Bantani yang populer di kalangan pesantren (Juz 1:139) dan Imam Al-Thobari dalam kitabnya Al-Jami’ li bayani wa Ta’wili Ayatil Qur’an, Vol. 0 Beirut 1988:231-236, menjelaskan sebab turunnya ayat tersebut, yaitu riwayat Aisyah, bahwa ada laki-laki yang ingin menikahi anak perempuan yatim karena kekayaannya, bukan karena ia mencintainya dan ingin mendidiknya, tapi demi mendapatkan harta kekayaannya, dan ia ingin menikahi tanpa mas kawin (mahar), tapi langsung dinikahi, supaya hartanya bisa dikuasai, dan ia pun tidak ingin memperlakukannya dengan dasar cinta-kasih, tapi dengan cara yang jelek, supaya cepat mati, dan hartanya diambil semua.

Alquran turun untuk mencegah maksud jahat laki-laki tersebut. Ia dipersilakan mencari wanita lain yang baik buatnya, maksimal 4 orang dengan syarat, adalah (adil). Kalau tidak mampu adil, cukup satu saja.

Dan berbuat adil kepada istri lebih dari satu adalah sesuatu yang sulit dilakukan, walaupun begitu, Allah tetap mentolerir, asalkan tidak ditampakkan secara terang-terangan yang membuat istri yang lain cemburu, sakit hati, dan menggantung hati dan perasaannya (antara mempunyai suami dan tidak-al-mu’allaqoh).

Hal ini menguatkan pernyataan di atas, yakni kehalalan poligami dengan syarat berbuat adil, begitu juga dalam kitab Tafsir Jalalain, dan tafsir-tafsir yang lain.

Sedangkan para cendekiawan kontemporer semisal Aminah Wadud, Asghar Ali Enggener, Fazlur Rahman, Moh. Syahrur, Moh. Ali Syad dan lain-lain kurang sependapat dengan tersebut di atas. Menurut mereka, poligami adalah sesuatu yang dilarang Alquran, karena dengan jelas Alquran menerangkan wajibnya berbuat adil, sedangkan hal itu tidak mungkin dilakukan. Asas Alquran adalah monogami.

Menurut Asghar Ali Enggener, pemikir radikal dari India, secara idiologis, Alquran melarang poligami, namun secara pragmatis Alquran mengakomodasi budaya yang berkembang waktu itu, karena poligami sudah mendarah daging bagi kalangan Arab, sehingga tidak mungkin Alquran langsung mengharamkannya.

Alquran sekadar membatasi maksimal 4 perempuan. Pembatasan ini adalah kompromi ideologis-pragmatis. Fazlur Rahman, pemikir neo-modernis dari Afghanistan yang hijrah ke AS, mengutip mufassir Maulana Malik Utsmani, mengatakan, ayat yang memperbolehkan poligami itu konteksnya untuk menjaga harta anak yatim, bukan yang lain. Jadi kalau mau poligami harus kepada anak yatim dengan tujuan melindungi hartanya agar tidak dimakan orang lain yang tidak bertanggung jawab.

Aminah Wadud, pemikir dan aktivis gender muslim di AS, menganalisis argumentasi laki-laki yang biasa melakukan poligami. Pertama, karena faktor ekonomi, hal ini tidak memperhatikan keadilan sosial dalam Islam. Wanita hanya menjadi beban finansial, sedangkan sekarang banyak wanita yang produktif dengan gaji yang tinggi.

Kedua, faktor kemandulan. Faktor ini tidak pernah disinggung Alquran. Justru ini kesempatan bagi pasangan suami-istri untuk mengambil anak yatim sebagai anak angkatnya, agar tumbuh normal sebagaimana anak pada umumnya. Ketiga, faktor nafsu seks. Menurut Aminah Wadud, poligami hanya menjadi media penyaluran nafsu seks laki-laki yang hiper, bukan dalam rangka menggapai keluarga sakinah, ma waddah, wa rahmah.

Permasalahan lain yang timbul sebagai akibat dari poligami adalah mengenai unsur keadilan dalam poligami itu sendiri. Perdebatan akademis di atas memang tidak akan pernah selesai.Yang pertama berpijak pada teks hukum yang jelas-jelas memperbolehkannya. Yang kedua, melihat latar historis, sosiologis, budaya, idiologis dan politis. Yang kedua ini lebih berpijak pada aspek moral-etika. Perdebatan ini paling tidak menjadi counter discourse bagi pelaku poligami agar tidak berlaku sewenang-wenang, mentang-mentang kaya, memperlakukan istri ke-2 dan seterusnya hanya sebagai pemuas nafsu seks, bukan dalam rangka membangun keluarga bahagia dunia-akhirat. Istri, baik pertama, kedua, ketiga, dan keempat, adalah ibarat pakaian yang menutupi dan menghiasi tubuh suami, begitu juga suami dengan istri (Hunna libasun lakum wa antum libasun lahunna)(QS. Al-Baqoroh:187)

Adalah (berbuat adil) dalam poligami adalah sesuatu yang mustahil bisa dilakukan, oleh sebab itu, pemikir muslim modernis menganggap poligami adalah larangan agama.

Adalah (berbuat adil dalam semua aspek) dalam konteks ini harus didinamisasi, revitalisasi, dan internalisasi bagi setiap pelaku poligami, sehingga tujuan mulia Alquran yang ingin memberdayakan dan menjunjung tinggi hak dan martabat perempuan lewat ajaran poligaminya, khususnya jika tujuannya untuk menolong para janda dan anak yatim, bisa ditegakkan di muka bumi ini.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, penulis hanya dapat menyimpulkan bahwa permasalahan poligami akan terus hadir dan bergulir dalam kehidupan umat manusia. Pihak pro dan kontra pun akan terus memperdebatkannya sesuai kebutuhan mereka dengan mendalilkan seluruh aspek yang mereka yakini. Dan pada akhirnya semua akan berpulang kepada keyakinan seseorang terhadap hukum dan agamanya.

* Disarikan oleh : TOPARI (Ketua DPD Pemuda Demokrat Indonesia Provinsi Banten)

Rabu, 14 April 2010

Tasawuf di Abad Modern

Kaum sufi yang merupakan kaum elit dan kaum terdepan. Merupakan roda penggerak utama islam pada masanya.Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering dihubungkan dengan gerakan-gerakan Islam umumnya.


Kaum sufi adalah kaum elit masyarakatnya, dan sering memimpin gerakan pembaruan, atau perlawanan terhadap penindasan dan dominasi asing atau kolonial. Maka, misalnya, mereka terlibat jauh dalam gerakan politik seperti kebangkitan di Maroko dan Aljazair melawan Prancis, dan pembangunan kembali masyarakat dan pemerintahan Islam di Libya, yang sebagian besar dilakukan oleh para anggota tarekat Sanusi. Di Nigeria utara, Syekh 'Utsman dan Fobio (m. 1817), seorang anggota Tarekat Qadiriyah, memimpin jihad melawan para penguasa Habe yang telah gagal memerintah menurut syariat Islam, yang telah mengadakan pembebanan pajak yang dibuat-buat, korupsi umum, penindasan, dari menjatuhkan moralitas Islam pada tingkat rakyat maupun istana. Lebih jauh ke timur, Syekh Muhammad Ahmad al-Mahdi (m. 1885), anggota tarekat Tsemaniyah, berhasil menentang pemerintahan kolonial Inggris di Sudan. Fenomena serupa terjadi pula di Timur. Misalnya, kaum sufi Naqsabandiyyah dan Syah Waliyullah menentang kekuasaan kolonial Inggris di India.

Demikianlah kaum sufi beraksi di banyak negara di masa penjajahan, menentang usaha kolonial untuk menjungkirkan pemerintahan Islam, dan berusaha menghidupkan kembali serta mempertahankan Islam yang asli. Mereka sering membentuk atau berada di jantung kelompok-kelompok sosial yang kuat, dan mempunyai banyak pengikut di banyak bagian dunia. Yang membuat gerakan-gerakan ini tetap berhubungan dan kuat ialah kenyataan bahwa selama abad ke-19 rakyat tidak aktif, dan kendali atas pemilikan tanah, bersama dengan pengaruh tradisi kultural yang telah lama mapan, memainkan peranan penting dalam stabilitas masyarakat. Namun, di abad ke-20 situasi ini mulai berubah secara cepat dan radikal

Penjajahan Barat atas kebanyakan negeri Muslim hampir sempurna menjelang akhir Perang Dunia Pertama. Setelah itu, kedatangan para penguasa sekuler dan sering "klien", yang ditunjuk atau disetujui oleh Barat, menentukan suasana. Kepentingan serta pengaruh agama dan kaum sufi menjadi nomor dua, karena erosi yang cepat dalam nilai-nilai dan gaya hidup masa lalu dan tradisional, dan menjadi bertambah sulit dan berbahaya untuk mengikuti jalan Islam yang asli secara utuh di negeri-negeri Muslim. Berlawanan dengan apa yang terjadi di Timur, banyak organisasi dan masyarakat spiritual muncul di Barat, sering dimulai oleh para pencari pengetahuan Barat.

Kenyataan bahwa banyak orang dari masyarakat Barat mengikuti gerakan-gerakan agama semu (psendo-religions), seperti gerakan Bahai dan Subud, maupun berbagai cabang Budhisme, Hinduisme, dan agama-agama baru minor lainnya, atau versi-versi agama lama yang dihidupkan kembali, menunjukkan kehausan dan minat akan pengetahuan spiritual di Barat, dimana berbagai versi agama Kristen yang lebih berdasarkan pikiran atau emosi ketimbang berdasarkan "hati", telah gagal memberikan santapan rohani yang sesungguhnya selama beberapa abad. Lebih berpengaruh dari berbagai gerakan ini adalah gerakan kaum Teosofi dan Mason. Menjelang awal abad ke-20 kita dapati perhatian yang amat besar pada spiritualisme di Eropa maupun Amerika Utara.

Karya para orientalis yang berusaha menggali dimensi spiritual agama-agama Timur --sekalipun dalam kerangka konseptual mereka yang khas, termasuk Islam, turut memperbesar minat terhadap spiritualisme dan pencarian pengalaman mistik di Barat, melalui tulisan dan terjemahan mereka atas karya-karya asli tentang tradisi-tradisi, kesenian, kultur, falsafah dan agama-agama Timur. Tasawuf mulai tiba di Barat bersama dengan gerakan spiritual semu atau gerakan spiritual sesungguhnya.

Kedatangan banyak guru India dan ahli kebatinan Budha bertepatan dengan lahirnya perhatian terhadap tasawuf. Di pertengahan abad ke-20, cukup banyak masyarakat dan gerakan sufi muncul di Eropa dan Amerika Utara, sebagian didirikan oleh orang sufi yang sesungguhnya dan sebagian oleh sufi semu. Dengan berjalannya waktu, lebih banyak informasi tentang tasawuf dan Islam yang lengkap dapat diperoleh di Barat. Krisis minyak di Barat dan ledakan minyak di sejumlah negara Timur Tengah juga membantu meningkatkan kontak dengan Timur Tengah dan bahasa Arab serta informasi tentang Islam. Kemudian datang Revolusi Islam Iran di tahun 1979 yang menyebabkan bangkitnya perhatian dunia kepada tradisi Islam. Tidaklah lepas dari konteks apabila dikatakan di sini bahwa kediaman Imam Khomeini sebelumnya, dan tempat di mana ia menyambut tamu-tamu rakyatnya di utara Teheran, adalah masjid dan tempat suci sufi. Sebenarnya Imam Khomeini berkonsentrasi pada ilmu tasawuf dan 'irfaan (gnosil), pada tahun-tahun awal di sekolah agama di Qum. dan tulisan-tulisannya yang awal terutama mengenai makna batin dari berjaga malam (qiyamul-lail), shalat malam dan kebangunan-diri.

Perlu diperhatikan bahwa kita jangan merancukan kualitas spiritual dari seorang individu dengan kejadian lahiriah. Imam 'Ali, guru semua sufi, hanya mengurusi peperangan selama bertahun-tahun sebagai pemimpin umat Islam. Kejadian-kejadian lahiriah kadang membingungkan penonton dan menyembunyikan cahaya orang-orang semacam itu. Tentang keadaan tasawuf di Barat di masa lalu yang lebih belakangan ini, kami mengamati dan menyimpulkan bahwa banyak kelompok yang menerima tasawuf untuk mengambil manfaat dari beberapa disiplin, doktrin, praktik atau pengalamannya, telah mulai terpecah belah.

Kelompok-kelompok gerakan zaman baru ini yang mengikuti sejumlah gagasan yang diambil dari tasawuf sedang terpecah-pecah karena jalan hidup mereka tidak selaras dengan garis umum Islam yang asli, dan oleh karena itu mereka tidak mendapat perlindungan lahiriah yang diperlukan untuk melindungi dan menjamin keselamatan gerakan batinnya. Maka selama beberapa dasawarsa terakhir abad ini, kita lihat bahwa kebanyakan gerakan sufi di Barat telah menguat karena berpegang pada amal-amal lahiriah Islam, atau melemah dan merosot karena tidak berlaku demikian.

Disarikan dari berbagai sumber.