SELAMAT DATANG KAWAN

Merdeka !!!
Marhaen Jaya

Kawan-kawan seperjuangan dalam hidup, marilah kita selalu senantiasa bersyukur kepadaNYA yang telah memberikan nikmat sehat, sehingga mampu berkarya demi keutamaan sebagai manusia yang mampu memberikan manfaat bagi sesama.

Untuk itu, kita sebagai kader bangsa harus senantiasa ingat & melaksanakan ajaran Bung Karno tentang faham :
Marhaenisme
– Sosio-Nasionalisme
Nasionalisme yang berperi-kemanusiaan.
– Sosio-Demokrasi
Demokrasi sejati yang mencari keberesan politik dan
keberesan ekonomi yang berke-Tuhan-an YME.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menuntun arah gerak kita guna mengawal 4 PILAR KEBANGSAAN (Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika).



KONFERDA I PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA PROVINSI BANTEN

KONFERDA I PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA PROVINSI BANTEN
HOTEL ABADI - SERANG, 25 MEI 2008

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KOTA TANGERANG SELATAN

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KOTA TANGERANG SELATAN
AULA KANTOR CAMAT CIPUTAT, 29 NOVEMBER 2009

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KAB. TANGERANG

KONFERCAB PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KAB. TANGERANG
CITRA RAYA-CIKUPA, 22 FEBRUARI 2009

HUT PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KE-62

HUT PEMUDA DEMOKRAT INDONESIA KE-62
LOMBA KARYA TULIS PELAJAR SE-KAB. TANGERANG TGL 31 MEI 2009

LEADERSHIP CAMP FOR STUDENTS

LEADERSHIP CAMP FOR STUDENTS
CISOKA, 1-2 OKTOBER 2005

Rabu, 20 Januari 2010

POLITIK DAN WANITA

Oleh TOPARI, S.Sos. *)


MERDEKA, MARHAEN JAYA !!!


Wanita sebagai insan yang diberikan kelebihan oleh Sang Pencipta untuk melahirkan generasi penerus umat manusia, selalu kurang diperhitungkan dalam masalah politik. Padahal sesungguhnya, wanita mempunyai potensi yang luar biasa untuk turut merubah tatanan kehidupan umat manusia dengan daya, akal dan nalar yang dimilikinya. Untuk itu dalam melihat sisi lain wanita di dunia politik, kita harus tahu makna sesungguhnya ber"politik" yang beretika dan beradab.
Politik Yang Santun
Latar belakang terjun kedunia politik adalah suatu cita-cita luhur untuk turut serta memberikan arti bagi kehidupan umat manusia. Karena sesungguhnya “politik” itu sebagai alat untuk mensejahterakan umat manusia, jadi “politik” bukan sebagai tujuan. Cita-cita luhur yang harus diterjemahkan tentukan sebagai implementasi PANCASILA sebagai falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Untuk itu diperlukan partai politik sebagai alat perjuangan dalam meng-agregasi, meng-artikulasi, mengkomunikasikan lewat kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Karena nilai-nilai luhur yang terkandung dalam PANCASILA sesungguhnya kita sebagai umat manusia yang beragama Islam tentunya harus menyakini arti Ukhuwah(Persaudaraan) yang berarti nilai-nilai tidak hanya Persatuan dan Kesatuan tapi semua nilai-nilai dalam lima sila Pancasila termasuk didalamnya. Oleh karena itu kita berkewajiban terus-menerus tanpa henti sebagai warga bangsa untuk mengkampanyekan UKHUWAH SEJATI (Persaudaraan Sejati) yaitu UKHUWAH ISLAMIYAH (Persaudaraan sesama umat Islam), UKHUWAH WATHONIYAH (Persaudaraan sesama anak bangsa), UKHUWAH BASYARIYAH (Persaudaraan sesama anak manusia yang berbeda agama). Kalau seluruh elemen warga bangsa satu padu dengan bahasa yang sama tentang UKHUWAH SEJATI, sudah PASTI dan PASTI apa yang menjadi amanat para pendiri bangsa, bahwa masyarakat adil dan makmur segera dan pasti terwujud.

Cita-cita luhur yang juga melatarbelakangi terjun kedunia politik adalah adanya kekuatan batin yang terus bergelora dalam jiwa kami, yaitu harus menjaga dan mengawal 4(Empat) PILAR KEBANGSAAN ( PANCASILA, UUD 1945, NKRI dan BHINNEKA TUNGGAL IKA). Karena dalam era keterbukaan saat ini dengan dalih demokratisasi, sudah sangat dipastikan adanya upaya-upaya akan mengganti Pancasila dengan ideology lainnya, juga sudah sangat nampak jelas dengan adanya proses amandemen terhadap UUD 1945 sampai 4 kali khususnya amandemen yang ke-3 dan ke-4 yang sangat kebablasan dengan puncak OTONOMI DAERAH meledakkan bom waktu TRAGEDI PROTAP (Provinsi Tapanuli) yaitu upaya pemekaran daerah tanpa henti dan kajian yang mendalam. Tinggal kita apakah masih mau hidup berbangsa dan bernegara di Republik tercinta ini dengan dasar PANCASILA dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika atau kita mau BIKIN NEGARA ISLAM ? Sejak paham-paham Transnasional seperti Liberalisme dan anak cucunya dari Barat maupun paham-paham dari Timur Tengah seperti Salafi, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin yang menjelma pada gerakan-gerakan yang masuk pada Partai Islam yang membuat jargon sebagai Partai Dakwah, Tarbiyah,Jamaah Islamiyah sangat terasa bahwa PANCASILA sedang mengalami ujian kembali sebagai perekat bangsa.

Ataukah kita mau mengisi nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ibarat segelas air putih yang diberi setetes gincu ataukah segelas air putih yang diberikan setetes garam seperti yang diungkapkan oleh Bung Hatta di tahun 1962 saat kelompok Salman dari ITB (Kang Imadudin dkk) datang menemui Bung Hatta kenapa Beliau selalu mengumandangkan tentang Persatuan dan Kesatuan dan nilai-nilai kebaikan bukan berbicara tentang islam. Islam harus mampu mengisi kehidupan dan dirasakan oleh masyarakat tanpa harus membuat Negara Islam atau kalau sekarang dengan lahirnya Perda-Perda yang menonjolkan paham agama tertentu yang justru lebih merendahkan derajat Kitab Suci dari agamanya.

Juga seperti Moh.Natsir tokoh Masyumi yang sampai sekarang sebagai Begawan para politisi Islam juga telah mengungkapkan bahwa Pemerintahan boleh silih berganti, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap kuat dan utuh.

Jadi sudah cukup jelas bahwa para petualang yang mengatasnamakan kelompok yang membawa panji-panji Islam dengan jalan kekerasan SANGAT BERTENTANGAN dengan para pendiri bangsa ini. Lebih baik dalam menginginkan sesuatu jalankan dengan cara-cara yang beradab jangan cara-cara yang biadab. Kekerasan demi kekerasan sejak 10 tahun ini dipertontonkan dan masalah mau memaksakan dengan mendirikan Khilafah Islamiyah di negeri yang multi kultur. Oleh karena itu Wahai Saudara-Saudarku sebangsa dan setanah air mari kembali kepada DASAR NEGARA KITA PANCASILA, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika serta sudah saatnya mari kita kembali berkarya sesuai keahlian masing-masing guna mengentaskan kemiskinan dan keterpurukan bangsa.

Dalam Buku “Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa” yang ditulis oleh As’ad Said Ali berhasil menunjukkan fakta bahwa dalam kondisi apa pun tidak ada elemen bangsa ini yang sanggup melepaskan Pancasila dari genggaman bangsa Indonesia. Ingin pun tidak. Karena menyingkirkan Pancasila berarti juga memusnahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia Indonesia (NKRI).

Pancasila adalah landasan yang kokoh bagi suatu bangsa besar yang multi etnik, multi agama, ribuan pulau dan kaya sumber daya alam. As’ad menyebut Pancasila sebagai titik pertemuan atau nuqthotul liqo’ yang lahir dari suatu kesadaran bersama pada saat krisis. Dan kesadaran ini muncul dari kesediaan berkorban demi kepentingan yang besar membentuk negara besar. Pancasila merupakan konsensus dasar yang menjadi syarat utama terbentuknya bangsa Indonesia.

Pancasila merupakan nuqthotul liqo’ pada saat terjadi perdebatan yang sangat alot mengenai dasar negara; antara yang menginginkan Indonesia menjadi negara sekuler dan agama, dalam hal ini Islam sebagai agama yang dianut mayoritas bangsa Indonesia. Para tokoh umat Islam dengan berbesar hati untuk mengakui menerima kenyataan bahwa bangsa Indonesia tidak hanya menganut satu agama atau kepercayaan. KH Wahid Hasyim, Ketua PBNU pada saat sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mendukung Pancasila sebagai dasar negara bahkan merelakan perubahan sila pertama yang dirumuskan dengan bersusah payah: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Keterliban Wanita Dalam Politik
Politik Indonesia saat ini yang kaitannya dengan keikutsertaan wanita sudah sangat dijamin oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 2008, sehingga dalam proses awal untuk mendorong keterlibatan peran serta wanita dengan quota 30% sangat menguntungkan, tinggal peran wanitanya sendiri untuk mengembangkan. Walaupun dalam tatanan masyarakat masih ada baik secara structural maupun cultural yang kurang memberikan ruang dan waktu bagi wanita untuk berkiprah dan mengaktulisasikan potensi yang dimilikinya. Para pahlawan bangsa baik RA. Kartini, Cut Mutia, Cut Nya Dien, sudah memberikan bukti dan contoh bagi pengembangan peran wanita diawal akan lahirnya bangsa Indonesia.

Walaupun diskriminasi terhadap wanita dalam setiap waktu dan saat masih sering muncul, sudah ada benteng Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskiriminasi Ras dan Etnis dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kedua Undang-Undang tersebut lahir karena banyaknya sikap dan perilaku sebagian masyarakat yang masih melakukan diskriminasi terhadap wanita, terutama adalah banyaknya kekerasan dalam rumah tangga. Korban yang timbul di dalam kekerasan rumah tangga sebagian besar adalah wanita, juga dalam diskriminasi ras dan etnik, yang sering jadi proses pelecehan adalah wanita dari etnis tertentu. Sikap kami tentunya berusaha memberikan pencerahan terhadap masyarakat lewat sosialisasi kepada kelompok-kelompok masyarakat, organisasi masyarakat, mahasiswa dan pelajar akan arti pentingnya upaya menghilangkan sikap diskriminasi terhadap wanita.

Peran wanita dalam politik dapat diekpresikan lewat pesta demokrasi Pemilu dengan mensyaratkan Caleg perempuan. Memang sangat diuntungkan dengan adanya quota 30% dalam jatah penyusunan caleg, walaupun akhirnya dalam akhir penghitungan hasil pemilu dengan system suara terbanyak. Lagi-lagi sangat berpulang kepada peran serta perempuan itu sendiri untuk berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Di awal penyusunan caleg mereka sangat diuntungkan, karena para partai politik peserta pemilu mencoba dengan segala cara untuk memenuhi quota 30% sessuai amanat UU pemilu, kadang tanpa adanya upaya seleksi yang baik, sehingga terkesan asal-asal yang penting ada caleg perempuan. Oleh karena itu pada saat pemilu tanggal 9 April 2009 kemarin sudah dapat dibuktikan, mana partai politik yang asal mencantumkan caleg perempuan dan mana partai politik yang tepat mengusung caleg perempuan sesuai dengan hasil pemilu saat ini.

Terdapat berita bahwa wanita hanya berhak menduduki maksimal 30% kursi di DPR, seperti yang sudah kami katakana di atas bahwa apapun upaya kita dalam rangka peningkatan partisipasi wanita dalam parlemen, sangat juga berpulang kepada wanita itu senidir, karena ruang sudah cukup untuk mendorong lebih cepat kesetaraan dalam politik. Sehingga nantinya produk Undang-Undang yang dihasilkan benar-benar diwarnai oleh kerja keras anggota parlemen dari unsure wanita. Karena nyatanya warga bangsa kita boleh dikatakan sesuai data statistic yang ada hampir 2/3 adalah penduduk wanita, sehingg sudah seharusnya semua apa yang dihasilkan harus berpihak kepada wanita.

Peran Ideal Wanita Dalam Politik
Ideal atau tidaknya peran wanita dalam kancah politik harus tetap dibuktikan dakam karya nyata di tengah-tengah masyarakat, karena daya percepatan untuk berkiprah sudah dijamin oleh UU. Kesetaraan gender sudah suatu keharusan, oleh karena itu para Kartini Muda mulai saat ini harus sudah berani bersaing untuk meduduki tokoh kunci di setiap lembaga/partai politik/organisasi masyarakat. Karena dengan menjadi tokoh kunci tentunya akan lebih memberikan nilai dibandingkan dengan yang lain, juga lebih leluasa untuk mengartikulasikan dan mengimplementasikan segala ide dan gagasan untuk proses pemberdayaan terhadap wanita-wanita lainnya.


Walaupun pria lebih didengar dari pada perempuan, karena selama ini perempuan belum diberikan ruang dan waktu yang sama dengan pria sebelum adanya jaminan yang cukup jelas lewat Undang-Undang yang mengaharuskan keterwakilan 30% bagi wanita. Sangat jarang sekali wanita menjadi tokoh kunci di setiap organisasi/partai politik, ditambah lagi secara kultural masih belum memberikan kesadaran kearah kesetaraan gender, sehingga sangat wajar dalam kurung waktu yang cukup lama didalam pemikiran setiap warga Negara peran pria lebih sangat didengar dan memiliki pengaruh dari pada perempuan.

* Ketua DPD Pemuda Demokrat Indonesia Provinsi Banten

Selasa, 19 Januari 2010

TRAGEDI SAMANHOEDI

Oleh : A. Suryana Sudrajat

30 Aug 2007


Penduduk laki-laki—termasuk orang Eropa, Indo, Tionghoa, dan bayi ,, paling banyak 60.000 jiwa. Tapi pada awal Agustus 1912, Asisten Residen Surakarta memperkirakan jumlah anggota Sarekat Islam di daerahnya sudah mencapai 35.000 orang. Bukan omong kosong jika hampir semua bumiputra dan muslim di kota itu dikatakan bergabung dengan SI. Kecuali pegawai tinggi dan pangeran dari Kasununan dan Mangkunegaran.

Residen Surakarta mulai gelisah, dimana-mana muncul aksi solidaritas. Bahkan di beberapa perkebunan para petani mulai mogok, menolak kerja paksa. Karena itulah, pada 10 Agustus, ia memerintahkan semua kegiatan SI dihentikan, termasuk acara-acara pertemuan dan penerimaan anggota baru. Residen juga memerintahkan polisi menggerebek kantor SI, sekalian menggeledah rumah anggota pengurus.

Tindakan mendadak itu membuat Haji Samanhoedi dkk panik. Para hoofdebstuur itu tidak tahu apa yang mesti diperbuat. Kegiatan organisasi memang sudah dibekukan, karena memasuki bulan puasa. Tapi ke depan? Untuk itu, mereka mengundang dua anggota dari Surabaya: Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto, teknikus pabrik gula Rogojampi, dan Raden Tjokrosoedarmo, juru tulis kantor notaris Belanda. Mereka menemukan celah. Yakni, dari segi hukum, perintah Residen itu hanya berlaku bagi SI yang anggaran dasarnya disusun Tirtoadhisoerjo dan di lingkungan Surakarta. Hoofdebstuur kemudian memberi mandat kepada Tjokro, yang juga ditunjuk sebagai komisaris, untuk membuat AD yang baru, sambil memperluas SI di luar Sala.

Dibantu Tjokrosaodarmo, Tjokro yang Oemar Said menyelesaikan tugasnya 14 September. Dan, dalam waktu yang hampir bersamaan SI sudah menyebar di seluruh Jawa dan Madura. Afdeeling-afdeeling-nya tumbuh bak jamur diguyur hujan. Pamor Tjokro dalam sekejap meroket: ia menempati posisi sentral. Bukan hanya karena ia hoofdebstuur di Oetoesan Hindia, tapi juga karena kehebatan orasinya yang tanpa tandingan. Setahun kemudian, ia menjadi wakil ketua hoofdebstuur. Dan pada April 1914. lewat pertarungan yang sengit, menjadi orang nomor satu. Sementara Haji Samanhoedi, yang kalah, diangkat sebagai ketua kehormatan. Sayang, setelah kongres Yogya itu, Haji yang sebenarnya pendiri SI ini tidak pernah nongol lagi.

Ini sebuah perkembangan yang luar biasa pesat. Bayangkan, sebelumnya pada 26 Januari 1913, ketika berlangsung kongres pertama SI di Surabaya, H. Samanhoedi mendapat sambutan besar-besaran. Di stasiun, Pak Haji dielu-elukan korps musik dan massa yang diperkirakan 5.000 orang --- sampai-sampai dia tidak berjalan ke mobil, tetapi didukung. Kongres dihadiri sekitar 10.000 orang dan dipimpin Oemar Said Tjokroaminoto, yang belum lama dilantik jadi anggota.

Hanya dua bulan kemudian, 23 Maret, SI mengadakan kongres kedua di Surakarta. Berlangsung di halaman istana Susuhunan dan menjelang malam dilakukan pemilihan central comite (pengurus besar). Sebagai ketua CC terpilih H. Samanhoedi, dan wakilnya Tjokroaminoto. Kongres ini juga dipimpin Tjokro yang sampai 1926, tahun ia berhaji, belum memakai nama HOS. Diperkirakan hadir 20.000 orang. Menurut laporan, kereta api dari jawa timur disesaki para kongresisten, dan di setiap stasiun yang dilewati disambut sesama anggota dan, jangan lupa, korp musik.

Setelah itu SI berkembang pesat. Pada 1916 sudah punya 180 cabang, dengan jumlah anggota 700.000 orang. Bandingkan dengan Boedi Oetomo yang puncak kejayaannya, 1909, hanya punya 10.000 anggota.

Peranan Samanhoedi di SI setelah kongres Yogya itu memang kian surut. Meskipun diangkat sebagai ketua kehormatan – dan konon dia senang menerimanya – perselisihan antara kubu Samanhoedi dan kubu Tjokro tidak bisa dibendung dan amalah dilanjutkan di pers. Yang paling keras, polemik antara majalah Doenia Bergerak yang dipimpin Marco, wartawan, pengarang dan paman Kartosoewirjo, dan Oetoesan Hindia yang didirikan Tjokro. Samanhoedi kemudian bergabung dengan Goenawan, wakil ketua CC, yang ingin memisahkan diri. Goenawan kabarnya sakit hati kepada pengurus CC, terutama Tjokro, yang bungkam ketika Tjipto Mangoenkoesoemo menuduhnya, lewat majalah Modjopahit, menggunakan sebagian besar kas SI Jawa Barat untuk kepentingan pribadi. Kebungkaman itu diartikannya sebagai ketidakpercayaan pengurus kepada dirinya. Malangnya, hanya sedikit yang mendukung Samanhoedi – Goenawan – sampai akhirnya mereka tidak cukup lagi punya pengikut untuk meneruskan perpisahan dengan organisasi induk. Pers Indonesia yang netral menyesalkan perpisaan itu – “hanya menguntungkan orang Eropa dan Cina”, kata mereka.

Menurut Korver, tidak sulit menjawab Samanhoedi terdesak dalam waktu singkat. Tokoh ini lahir di Desa Sondokoro, afdeling Surakarta. Tahunnya tak pasti. A.D. Rinkes, penasihat pemerintah untuk urusan pribumi, menaksir umurnya pada 1913 kira-kira 35 tahun. Ayahnya saudagar batik. Di masa kanak-kanaknya, orang tuanya pindah ke Lawean. Di sini ia masuk Sekolah Dasar ”Kelas Dua”, dan bekerja di perusahaan ayahnya setelah tamat. Lalu membuka usaha sendiri, punya cabang di Bandung, Surabaya, dan kota-kota lain. Dia dikenal Saleh, dan pada 1904 berangkat berhaji.

Untuk ukuran Lawean, kepemimpinan Samanhoedi bagus. Tetapi ketika SI mulai merambah seluruh Jawa, kemampuan memimpinnya tampak kurang. Menurut Rinkes, ia tidak berpendidikan, juga tidak di bidang agama, sama sekali tak punya bakat orator maupun kebiasaan yang ”agak kekotaan”, dan serba salah dalam setiap tindakan yang dipengaruhi pengertian Eropa. Alhasil, tidak memenuhi gambaran pemimpin suatu gerakan besar.

Padahal dia juga punya pengetahuan yang jauh diluar soal-soal Lawean. Misalnya, dia menyusun daftar keluhan dan perbaikan yang akan disampaikan pada pertemuan pengurus SI dengan Gubernur Jenderal Indenburg Juni 1913. Di situ dia menyinggung diskriminasi upah antara orang Eropa dan pribumi untuk pekerjaan yang sama, perlunya memensiunkan Bupati yang sudah terlalu tua, dan diperluasnya kesempatan masuk Sekolah Dasar “Kelas Satu” (HIS). Sayang, akibat kecanggungannya, ia lupa menyerahkan dokumen itu kepada Idenburg.

Sebuah tragedi. Awal 1913, massa rakyat Surabaya masih menyambutnya sebagai “Bapak SI”. Beberapa tahun kemudian dia sudah dilupakan. Seorang pendiri sebuah gerakan, yang mengutamakan seperti saling membantu, membagi perasaan aman, dan memperkukuh kesetiakawanan. Kepemimpinan Samanhoedi yang tradisional, sebenarnya lebih dekat kepada aspirasi massa, ketimbang reken-rekannya yang berpendidikan Barat dan lebih pandai bicara. Sedihnya, kepada mereka itu pula dia harus memberikan tempat.

Satu hal lagi harus dicatat. Menurut Korver, Samanhoedi mendirikan SI bukan untuk menghalau pengusaha Cina dari sektor batik. Benar, terbentuknya SI pada 1912 berlatar konflik orang Cina dan orang Jawa – yang sebelumnya bersama-sama membentuk semacam organisasi rahasia bernama Kong Sing, untuk bantu-membantu dalam musibah kematian dan mencegah baku hantam. Tetapi konflik ini lebih bersifat politis dan sosial ketimbang ekonomi. Misalnya, sikap kalangan Cina (setelah kemenangan bangsa Tionghoa atas bangsa Manchu di Cina Daratan) yang dianggap angkuh kepada para pengusaha jawa, sementara si Jawa sudah merasa terhina oleh pihak bangsawan dan Eropa. Tapi masa-masa kemudian menunjukkan hubungan yang wajar antara kedua pihak. Jadi politis, bukan ekonomis. Tapi sejarah kemudian memberikan kelanjutannya.

Tidak semua perintis menikmati kemasyhuran, memang. Juga Samanhoedi, yang di masa tuanya tinggal di gubuk buruk berlantai tanah, berdinding tepas, di daerah pingiran Klaten. Dia tinggal bersama cucunya yang PKI. Setelah lama ditelan masa, pada tahun 1950-an, kata Deliar Noer dalam otobiografinya (1966), Samanhoedi mulai muncul lagi di Jakarta memenuhi undangan partai (SI), ”namun dalam keadaan benar-benar laruik sanjo ... Aku sedih melihat penderitaan Samanhoedi. Bagai tak ada yang peduli, tinggal diasuh oleh belahan keluarga sendiri yang tidak berkecukupan pula,” tulis Deliar, yang menemui Samanhoedi ketika sedang berbaring di tempat tidur buatan lama dari besi, di gubuknya di pinggiran Klaten itu. Waktu itu Deliar sedang riset dalam rangka doktornya tentang gerakan modern Islam di Indonesia.

Tidak semua perintis menikmati kemasyhuran. Juga Samanhoedi, orang besar yang menjalani sisa hidupnya di gubuk buruk di pinggiran kota itu.

Senin, 18 Januari 2010

BUNG KARNO SEORANG NASIONALIS YANG ISLAM DAN REVOLUSIONER

Oleh :A. Umar Said



Renungan dan catatan tentang BUNG KARNO

Jadi, apakah bisa dikatakan bahwa Bung Karno adalah seorang nasionalis yang Muslim dan berhaluan fikiran kiri? Ya, tetapi bukan hanya itu saja! Dari sejarahnya sejak muda belia, nyatalah dengan jelas bahwa ia adalah seorang pejuang nasionalis yang tidak tanggung-tanggung. Dalam soal ke-nasionalisme-an, Bung Karno adalah tokoh raksasa. Dan, sebagai seorang nasionalis revolusioner, perjuangannya adalah yang paling menonjol dalam sejarah bangsa Indonesia sampai dewasa ini. Ia juga bukan seorang Muslim yang sembarangan, yang pengetahuannya tentang Islam hanya dangkal-dangkal saja, atau hanya pura-pura menganut agama Islam. Ia adalah seorang haji, yang pernah menyatakan kalau ia meninggal supaya mayatnya diselimuti dengan bendera Muhammadiyah. Ia juga seorang kepala negara yang revolusioner, yang berpandangan kiri dan tidak anti kepada marxisme dan tidak anti kepada PKI.

Mengingat hiruk-pikuk tentang “sweeping” terhadap penerbitan kiri dan hingar-bingar tentang anti-komunisme yang akhir-akhir ini menjadi “topik” hangat dalam pers dan percakapan banyak orang, maka tulisan yang kali ini mencoba memberikan sekadar sumbangan bahan-bahan untuk pemikiran bersama dalam perdebatan publik dewasa ini. Dan karena HUT ke-100 Bung Karno akan diperingati tidak lama lagi, maka penyajiannya juga diakomodasikan dengan peristiwa ini. Sebab, menampilkan kembali berbagai fikiran Bung Karno dalam konteks yang sekarang ini, mungkin bisa menjadi bahan referensi bagi banyak orang tentang arah yang perlu kita tempuh bersama sebagai bangsa yang beradab.

Sebagai “pembuka” penyajian masalah, maka dikutip di sini bagian-bagian kecil pidato kenegaraan Bung Karno pada tanggal 17 Agustus 1960, yang diambil dari koleksi “Di bawah Bendera Revolusi” jilid dua. Keseluruhan pidato ini agak panjang, dari halaman 395 sampai 435 (40 halaman), dan merupakan kelanjutan dari pidatonya yang amat penting setahun sebelumnya, yaitu yang terkenal kemudian dengan Manifesto Politik (Manipol). Bagi mereka yang ingin mengetahui gagasan-gagasan besar Bung Karno, adalah perlu sekali untuk mempelajari isi kedua pidato ini, di samping pidato-pidatonya yang lain. Sebab, dengan membaca karya-karya aslinya dan mendengarkan pidato-pidatonyalah –yang dipadukan dengan memperhatikan praktek-prakteknya - kita bisa menilai betapa pentingnya ajaran-ajarannya mengenai berbagai masalah besar bangsa.

AKIBAT PERANG DINGIN : KOMUNISTO-PHOBI


Bagian kecil pidatonya tahun 1960 itu adalah sebagai berikut:

”Beberapa tahun sesudah Proklamasi Kemerdekaan kita, maka terjadilah di luar negeri, - kemudian juga meniup di angkasa kita -, apa yang dinamakan “perang dingin”. Perang dingin ini sangat memuncak pada kira-kira tahun 1950, malah hampir-hampir saja memanas menjadi perang panas. Ia amat menghambat pertumbuhan-pertumbuhan progresif berbagai negara. Tadinya, segera sesudah selesainya Perang Dunia yang ke-II, aliran-aliran di mana-mana mulailah berjalan pesat.

“Tetapi pada kira-kira tahun 1950, sebagai salah satu penjelmaan daripada perang dingin yang menghebat itu, aliran-aliran progresif mudah sekali dicap “Komunis”. Segala apa saja yang menuju angan-angan baru dicap “Komunis”. Anti-kolonialisme – Komunis. Anti exploitation de l’homme par l’homme – Komunis. Anti-feodalisme – Komunis. Anti kompromis – Komunis. Konsekwen revolusioner – Komunis.

“Ini banyak sekali mempengaruhi fikiran orang-orang, terutama sekali fikirannya orang-orang yang memang jiwanya kintel. Dan ini pun terus dipergunakan (diambil manfaatnya) oleh orang-orang Indonesia yang memang jiwanya jiwa kapitalis, feodalis, federalis, kompromis, blandis, dan lain-lain sebagainya.

“Dus : Orang-orang yang jiwanya negatif menjadilah menderita penyakit “takut kalau-kalau disebut kiri”, “takut kalau-kalau disebut Komunis”. Kiri-phobi dan komunisto-phobi membuat mereka menjadi konservatif dan reaksioner dalam soal-soal politik dan soal-soal pembangunan sosial-ekonomis. Dan, orang-orang yang jiwanya memang objektif ingin menegakkan kapitalisme dan feodalisme, mengucapkan selamat datang kepada peng-capan kiri dan peng-capan Komunis yang dipropagandakan oleh satu fihak daripada perang dingin itu.

“Sampai sekarang masih saja ada orang-orang yang tidak bisa berfikir secara bebas apa yang baik bagi rakyat Indonesia dan apa keinginan Rakyat Indonesia, melainkan à priori telah benci dan menentang segala apa saja yang mereka sangka adalah kiri dan adalah “Komunis”. “Dua sebab subjektif dan objektif itu membuat beberapa golongan dari Rakyat Indonesia menjadi konservatif dan reaksioner, anti-progresif dan anti-revolusioner “ (kutipan dari halaman 406 dan 407)..

Para pembaca yang budiman. Mohon dicatat bahwa pidato ini diucapkan 5 tahun sebelum terjadinya peristiwa G30S, dan setahun sesudah diucapkannya pidato Manifesto Politik (Manipol) dan juga setahun sesudah Kongres PKI ke-6, yang resepsinya dihadiri oleh Bung Karno (tentang hal ini ada catatan tersendiri. Pen.). Waktu itu, Bung Karno sudah mengecam, memperingatkan, bahkan “memarahi” orang-orang yang anti-Marxisme atau anti-Komunis. Kalau dibaca karya-karyanya atau didengar pidato-pidatonya, maka akan nyatalah bahwa hampir dalam semua pidatonya itu tercermin keinginannya yang menyala-nyala (atau cita-citanya yang paling diidam-idamkan- nya), yaitu : tergalangnya persatuan revolusioner dari seluruh potensi bangsa, termasuk golongan komunis.

PERSATUAN REVOLUSIONER DAN GOTONG ROYONG

Hal yang demikian itu juga nampak jelas sekali dalam bagian lain pidatonya yang itu juga, yang berbunyi sebagai berikut:

“Di Indonesia ini memang telah ada ada tiga golongan-besar “revolutionaire krachten”, yaitu Islam, Nasional, dan Komunis. Senang atau tidak senang, ini tidak bisa dibantah lagi! Dewa-dewa dari Kayanganpun tidak bisa membantah kenyataan ini! Jikalau benar-benar kita hendak melaksanakan Manifesto Politik-USDEK, jikalau kita benar-benar setia kepada Revolusi, jikalau benar-benar kita setia kepada jiwa Gotong Royong, jikalau benar-benar kita tidak kekanak-kanakan tetapi sedar benar-benar bahwa Gotong Royong, Persatuan, Samenbundeling adalah keharusan dalam perjuangan anti imperialisme dan kapitalisme, maka kita harus mewujudkan persatuan antara golongan Islam, golongan Nasional, dan golongan Komunis itu. Maka kita tidak boleh menderita penyakit Islamo-phobi, atau Nasionalisto-phobi, atau Komunisto-phobi!

“Janganlah mengira bahwa saya ini orang yang sekarang ini memberi “angin” kepada sesuatu fihak saja. Tidak! Saya akan bersyukur kepada Tuhan kalau saya mendapat predikat revolusioner. Revolusioner di masa dulu, dan revolusioner di masa sekarang. Justru oleh karena saya revolusioner, maka saya ingin bangsaku menang. Dan justru oleh karena saya ingin bangsaku menang, maka dulu dan sekarang pun saya membanting tulang mempersatukan semua tenaga revolusioner, - Islamkah dia, Nasionalkah dia, Komuniskah dia! “Bukalah tulisan-tulisan saya dari zaman penjajahan. Bacalah tulisan saya panjang-lebar dalam majalah “Suluh Indonesia Muda” tahun 1926, tahun gawat-gawatnya perjoangan menentang Belanda. Di dalam tulisan itupun saya telah menganjurkan, dan membuktikan dapatnya, persatuan antara Islam, Nasionalisme, dan Marxisme. Saya membuka topi kepada Saudara Haji Muslich, tokoh alim-ulama Islam yang terkemuka, yang menyatakan beberapa pekan yang lalu persetujuannya kepada persatuan Islam-Nasional-Komunis itu, oleh karena persatuan itu memang perlu, memang mungkin, memang dapat.” (dikutip dari halaman 414, Di bawah Bendera Revolusi, jilid dua).

* * *

Dapatlah dimengerti, kiranya, bahwa ada orang-orang (terutama di kalangan muda) yang “kaget” atau termangu-mangu ketika membaca kutipan di atas. “Ungkapan” yang demikian itu sudah hilang, tidak pernah terdengar lagi, selama lebih dari 30 tahun!!! Dan, mungkin ada juga yang bertanya-tanya dalam hati, apakah betul Bung Karno, sebagai Presiden, Kepala Negara dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI pernah mengucapkan hal-hal yang seperti itu? Dan, barangkali juga, ada yang bertanya-tanya mengapa Bung Karno sampai berbicara semacam itu.

Kalau memang betul ada orang-orang yang sampai mempertanyakannya, itulah salah satu di antara bukti-bukti tentang betapa hebatnya “pembrangusan” suara Bung Karno selama puluhan tahun ini oleh Orde Baru/GOLKAR. Itulah bukti juga bahwa bangsa Indonesia telah secara sengaja dibikin “lupa” kepada sejarahnya sendiri. Bahwa bangsa Indonesia (terutama generasi muda) menjadi tidak mengenal sejarah perjuangan Bung Karno adalah dosa besar Orde Baru/GOLKAR. Bahwa dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah hanya disajikan sejarahnya secara superfisial atau sepotong-potong - bahkan dengan konotasi yang negatif – adalah sesuatu yang untuk selanjutnya di kemudian hari harus dikoreksi, dirombak, atau disusun kembali.

SEGALA-GALAANYA UNTUK DAN DEMI RAKYAT!

Sekarang ini, dan untuk selanjutnya, bangsa kita berhak untuk mengenal sejarah Bung Karno sebaik mungkin atau sebanyak mungkin. Oleh karena itu, buku-buku yang berisi karya-karya aslinya atau gagasan-gagasannya perlu disebar-luaskan secara bebas dan seluas-luasnya. Di samping itu, perlu dianjurkan atau didorong lahirnya berbagai tulisan tentang sejarah perjuangannya, tentang jasa-jasanya kepada rakyat dan bangsa, dan juga tentang kesalahan-kesalahan- nya. Dengan demikian, maka ada bahan atau sarana bagi rakyat dan bangsa untuk mengetahui bahwa rakyat Indonesia pernah mempunyai seorang pemimpin yang besar dan patut dijadikan kebangggaan rakyat. Juga, dengan demikian, rakyat kita tahu juga bahwa Bung Karno telah menjadi korban dari para pendiri sistem politik Orde Baru/GOLKAR.

Rakyat perlu dan berhak tahu, bahwa pengkhianatan para pendiri Orde Baru/GOLKAR terhadap Bung Karno, pada hakekatnya adalah juga pengkhianatan terhadap rakyat. Sebab, sejarah sudah membuktikan, secara nyata pula, bahwa Bung Karno memang berjuang untuk kepentingan rakyat banyak, terutama “rakyat” kecil. Kalau dibaca karya-karyanya dan didengar pidato-pidatonya, maka jelas sekali bahwa titik pusat perjuangannya adalah untuk membebaskan rakyat dari segala macam penindasan dan penghisapan. Oleh karena itulah, sebagai seorang revolusioner yang ingin berjuang untuk kepentingan rakyat kecil, ia telah menciptakan Marhaenisme.

Marhaenisme mengangkat masalah penghisapan dan penidasan “rakyat kecil” yang terdiri dari kaum tani miskin, petani kecil, buruh miskin, pedagang kecil – kaum melarat Indonesia – yang dilakukan oleh para kapitalis, tuan-tanah, rentenir dan golongan-golongan penghisap lainnya. Ungkapan yang sering dipakai oleh Bung Karno, dan yang paling terkenal, adalah “l’ exploitation de l’homme par l’homme” (penghisapan manusia oleh manusia). Marhaenisme, yang telah dilahirkannya dan dikembangkannya antara tahun 1930-1933 merupakan pemikiran-pemikiran kiri yang senafas dengan Marxisme. Karyanya ini, seperti banyak karyanya yang lain, menunjukkan dengan jelas bahwa baginya, kepentingan rakyat adalah tujuan akhir dari segala-galanya.

Ketika dewasa ini kita sedang memperingati HUT ke-100 Bung Karno, perlu sekali menyoroti masalah satunya, atau bersatunya, atau kesatuannya jiwa Bung Karno dengan jiwa kerakyatan ini. Untuk itu, barangkali ada gunanya untuk dikutip satu bagian kecil pidatonya tahun 1957, yang berbunyi sebagai berikut :

“Coba ingatkan kembali pergerakan kita dulu sebelum mencapai kemerdekaan. Dulu kita semua adalah "rakyati", dulu kita semua adalah "volks". Api pergerakan kita dulu itu kita ambil dari dapur apinya rakyat. Segala fikiran dan angan-angan kita dulu itu kita tujukan kepada kepentingan rakyat. Tujuan pergerakan kita dulu itu yalah masyarakat adil dan makmur bagi rakyat. Segala apa-saja sebagai hasil penggabungan tenaga rakyat, dulu kita pakai sebagai alat perjuangan. Segenap kekuatan perjuangan kita dulu adalah kekuatan rakyat. (Di bawah Bbendera Revolusi, halaman 285).

“Sebenarnya, semua dasar-dasar daripada perjuangan kita dahulu, tetap berlaku bagi zaman sekarang. Hanya, sekarang, dalam alam kemerdekaan ini har us ditujukan kepada hal-hal yang lebih kongkrit; ditujukan kepada hal-hal yang bersangkut-paut dengan penghidupan rakyat sehari-hari. Tetapi dasar-dasarnya harus tetap. Kekuatan kita harus tetap bersumber kekuatan rakyat. Api kita harus tetap apinya semangat rakyat. Pedoman kita harus tetap kepentingan rakyat. Tujuan kita harus tetap masyarakat adil dan makmur, masyarakat “rakyat untuk rakyat”. Karakteristik segenap tindak-tanduk perjuangan kita harus tetap karakteristik rakyat, yaitu karakteristik rakyat Indonesia sendiri dan karakteristik bangsa Indonesia sendiri” (Di bawah Bendera Revolusi, halaman 286).


PENGGULINGAN BUNG KARNO : PENGKHIANATAN TERHADAP RAKYAT

Itulah, Bung Karno! Karenanya, orang-orang yang anti Bung Karno (waktu itu, dan juga sekarang) tidak bisa menyerang Bung Karno dengan tuduhan bahwa ia membohongi rakyat, atau menindas rakyat, atau merugikan kepentingan rakyat. Bung Karno tidak bisa diserang dengan dalih bahwa apa yang ia ucapkan adalah berbeda dengan apa yang ia laksanakan. Justru sebaliknya, ia diserang justru karena ia menyuarakan hati nurani rakyat. Ia dimusuhi karena ia bersatu dengan rakyat. Oleh karena itu, penggulingan Bung Karno oleh para pendiri Orde Batu/GOLKAR adalah sesungguhnya pengkhianatan terhadap Amanat Penderitaan Rakyat.

Pengalaman selama Orde Baru lebih dari 32 tahun, yang akibat-akibatnya masih bisa disaksikan sampai sekarang, adalah buktinya. Dewasa ini diperkirakan ada 40 juta orang yang menganggur dan setengah menganggur, tetapi sebaliknya lapisan-lapisan tertentu masyarakat hidup dalam kemewahan yang asalnya adalah dari cara-cara yang haram atau tidak bermoral. Selama puluhan tahun selalu digembar-gemborkan bahwa Orde Baru adalah “orde pembangunan”. Adalah kenyataan yang sama-sama kita saksikan dewasa ini bahwa Orde Baru/GOLKAR adalah justru orde perusakan secara besar-besaran : semangat revolusioner bangsa sudah dipadamkan, nasionalisme patriotik mengalami erosi besar-besaran, jiwa gotong-royong dimandulkan, persatuan antar-suku diporak-porandakan, kerukunan antar-agama dirusak.

Supaya lebih jelas bahwa penggulingan Bung Karno adalah pengkhianatan terhadap Amanat Penderitaan Rakyat bisa juga kita lihat dari segi-segi yang lain, antara lain : banyak para “elite” yang bicara lantang atas nama rakyat dan demi rakyat tetapi sekaligus juga mencuri kekayaan negara secara besar-besaran. Pelaku-pelaku berat di bidang kejahatan kriminal, kejahatan politik, kejahatan ekonomi kelas kakap, dan kejahatan kemanusiaan masih bebas lenggang-kangkung saja, karena mereka bisa “membeli” aparat-aparat negara. Para pejabat pemerintah dan para politisi (termasuk sebagian besar para pimpinan partai dan anggota “dewan perwakilan rakyat”) sudah mempersetankan missi mereka sebagai pengabdi kepentingan rakyat. Kejujuran sudah menjadi sifat yang langka. Ringkasnya, kehidupan moral sudah mengalami pembusukan secara besar-besaran.

AJARAN BUNG KARNO DIMUSUHI ORDE BARU

Sekarang makin jelas, bahwa ajaran-ajaran dan politik Bung Karno, yang sudah menjadi pedoman perjuangan rakyat dan bangsa selama puluhan tahun telah lama ditentang dan dirusak oleh Orde Baru, yang sebagian akibat-akibatnya tergambar seperti di atas. Maka, sekarang makin terasalah adanya kebutuhan untuk mengisi kembali kekosongan spiritual bangsa dengan ajaran-ajaran revolusioner dan kerakyatan Bung Karno. Sebab, ternyata, bahwa Orde Baru selama 32 tahun tidak bisa - dan tidak mungkin !!! – menciptakan pedoman spiritual dan moral bagi rakyat dan bangsa. Bahkan sebaliknya, pedoman yang sudah ada pun telah dicampakkannya. Pancasila pun yang disajikan sebagai “plagiat” selama puluhan tahun, telah diisi oleh Orde Baru dengan praktek-praktek yang justru bertentangan sama sekali dengan jiwa asli Pancasilanya Bung Karno.

Kalau kita teliti karya dan sejarah Bung Karno, maka jelaslah bahwa ajaran-ajaran atau gagasan-gagasan Bung Karno mengenai kehidupan bangsa dan negara adalah revolusioner dan kiri dan mengangkat kepentingan rakyat sebagai panglima. Justru karena itulah maka amat penting untuk menampilkan kembali ajaran-ajarannya pada dewasa ini, demi kepentingan rakyat dan kebaikan kehidupan bangsa sebagai keseluruhan. Menampilkan ajaran Bung Karno dewasa ini mungkin akan ada gunanya bagi para “elite” di berbagai kalangan, supaya mereka ingat kepada tugas dan tanggungjawab mereka masing-masing terhadap kepentingan rakyat. Mungkin ada gunanya juga untuk mengingatkan “mereka” yang sedang “memerangi” buku-buku kiri dan marxist, atau yang mendirikan posko-posko anti-komunis, bahwa jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang salah dan, juga, menyesatkan.

Tetapi, mengingat masih besarnya effek racun yang sudah dicekokkan oleh Orde Baru/GOLKAR selama puluhan tahun, bisalah dimengerti bahwa pekerjaan ini tidak mudah, dan akan mengalami rintangan atau menghadapi perlawanan dari mereka-mereka yang ingin tetap meneruskan praktek-praktek rezim militer Suharto dkk. Namun, mengingat akan besarnya kerusakan-kerusakan yang telah dibikin oleh Orde Baru/GOLKAR, maka mau tidak mau, rakyat dan bangsa kita perlu dibangkitkan kembali untuk bisa menempuh jalan yang benar. Dalam rangka inilah penyebaran kembali ajaran-ajaran Bung Karno mungkin akan bisa memberikan sumbangan besar untuk pendidikan bangsa.

Kalau untuk tujuan yang luhur ini masih ada saja yang menentang - melalui berbagai cara dan bentuk-, maka hal yang demikian itu membuktikan bahwa sisa-sisa fikiran dan praktek-praktek Orde Baru (yang telah membodohkan banyak orang!) masih tetap meracuni benak mereka. Karenanya, perjuangan untuk melawan fikiran-fikiran terbelakang semacam ini perlu digelar terus-menerus bersama-sama, demi pendidikan politik dan moral bagi rakyat dan demi peningkatan peradaban dan kebudayaan berfikir bangsa.

Paris, 14 Mei 2001

Skandal Seks (Meneer) Asisten Residen Muller de Montigny di Rangkasbitung

Oleh : Bonnie Triyana *)


Penjajahan Belanda atas Indonesia memang mendatangkan beragam kisah. Mulai dari exploitasi sumber daya alam sampai dengan kisah perselingkuhan antara meneer Belanda dengan perempuan pribumi.

Pada zaman kolonial, rakyat bumiputra diposisikan sebagai warga negara terandah di dalam sratatifikasi sosial masyarakat Hindia Belanda. Bahkan orang Indonesia, menurut orang-orang Belanda waktu itu, adalah negeri para monyet, bangsa yang dianggap sebagai penjahat paling kejam dan tak beradab. Persepsi orang Belanda terhadap warga pribumi juga diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer di dalam novelnya Bumi Manusia. Seorang anak muda dari Jawa Tengah yang datang ke Batavia untuk belajar di sekolah kedokteran (STOVIA) dijuluki “Minke oleh gurunya sendiri, yang merupakan plesetan dari kata monkey (monyet). Minke adalah tokoh utama di dalam novel itu.

Perempuan pribumi pun dipandang sebagai perempuan rendahan, yang walau dirias dengan gincu, konde, kebaya plus berhiaskan gelang, cincin dan kalung bermata berlian, tetaplah seorang inlander yang terlihat murahan di hadapan tuan-tuan Belanda. Sehingga pada masa itu muncul ungkapan bahasa Belanda (yang tak bermutu) soal pribumi, al draagt een aap een gouden ring, het us en blijft een leijk ding (meskipun mengenakan cincin emas, seekor monyet tetap saja mahluk yang buruk rupa).

Berdasarkan “doktrin” itulah, Belanda menempatkan pribumi sebagai warga kelas bawah alias inlander. Yang kemudian mereka gunakan pula sebagai dasar untuk mempekerjakan mereka sesuka hati, pula sebagai gundik. Orang-orang Belanda saat itu memandang perempuan pribumi sebagai perempuan yang berhasrat seks tinggi, karena terbiasa menyantap makanan yang berempah-rempah.

Sejarah pergundikan di Indonesia pada masa lalu, dimulai sejak kaum lelaki VOC datang ke kepulauan Hindia tanpa disertai istri-istri mereka. Konon, dari sini pula muncul bantal guling, bantal yang digunakan oleh kaum lelaki Belanda sebagai teman tidur mereka di Hindia. Tentu saja bantal guling tak lagi berfungsi sebagai teman tidur para meneer Belanda, ketika tradisi memelihara perempuan pribumi sebagai gundik sudah dimulai. Gundik memang tak pernah dinikahi secara sah, namun mereka diharuskan melayani meneer Belanda itu sebagaimana layaknya seorang istri.

Kebiasaan yang berlangsung di Hindia Belanda pada masa kolonial, seorang lelaki Belanda memelihara gundik, sebelum ia memutuskan untuk menikahi seorang perempuan Eropa yang sederajat dengannya. Seringkali terjadi lelaki Belanda yang sudah memiliki istri di negerinya, menjadikan perempuan pribumi sebagai gundik. Manakala lelaki Belanda itu menikah resmi dengan perempuan yang sederajat atau istri sahnya dari negeri Belanda datang ke Hindia, maka seorang nyai harus rela meninggalkan statusnya, bahkan melupakan ”suami” dan anak yang pernah dilahirkannya.

Soal esek-esek ini juga yang membuat Muller de Montigny, assisten residen yang bertugas di Rangkasbitung, Lebak, Banten, sejak 6 April 1906 sampai dengan 1908 terjungkal dari jabatannya. Rangkasbitung juga kota dimana Eduard Douwes Dekker yang bernama pena Multatuli, pernah bertugas sebagai assisten residen. Kota ini pula yang menjadi setting peristiwa Lebak dalam novelnya ”Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi Hindia”.

Silang sengkarut kasus pergundikan yang dilakukan oleh Muller de Montigny itu tercatat di dalam arsip Departemen Van Binenland Bestuur (BB, Departemen Dalam Negeri) Pemerintah Hindia Belanda. Berdasarkan laporan rahasia Residen Banten Overduyn tertanggal 7 Nopember 1907 No. 234/g kepada Direktur BB yang ditembuskan juga kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, Muller de Montigny telah melakukan beberapa tindakan yang tak terpuji: hampir setiap hari dia meminta Ardja, seorang opas patih Lebak untuk mencarikan seorang perempuan. Montigny juga membebani jaro (lurah) desa Aweh (distrik Rangkasbitung) untuk meminta seorang perempuan pribumi bernama Nyi Munah yang dihukum karena perselingkuhan, untuk menjadi pembantunya. Tidak hanya itu, Montigny juga memerintahkan Mas Mangku Sudirdja, sipir penjara negara Rangkasbitung, untuk mencarikan pembantu perempuan pribumi (Nyi Hadji Salatri dan Marsono).

Montigny menjalankan tugas sebagai Asisten Residen Lebak, sendiri, tanpa didampingi seorang istri. Arsip memang tak menjelaskan apa statusnya : perjaka, duda atau sudah menikah. Dari keterangan yang ditulis dalam surat rahasia Residen Overduyn tanggal 25 Maret 1908 No. 92/g disebutkan, bahwa Montigny kurang memiliki sikap menjaga nafsu seksualnya, sehingga berulang kali ia meminta pada opas patih untuk mencari seorang perempuan pribumi untuk menemaninya pada malam hari.

Perilaku seksual Asisten Residen Muller de Montigny dinilai keterlaluan oleh para atasannya. Selain meminta Djamad, opas patih, untuk setor perempuan setiap hari, ia juga memelihara seorang gundik yang diakuinya sebagai pembantu. Seakan belum puas dengan perempuan-perempuan ”setoran” bawahannya, ia juga menyuruh sipir penjara negara di Rangkasbitung untuk menyerahkan kepadanya dua tahanan perempuan pribumi.

Tentu saja Montigny menyangkal semua tuduhan yang dilayangkan kepadanya. Melalui suratnya kepada Gubernur Jenderal ia menyatakan, bahwa tuduhan-tuduhan itu tak lain karena siasat licik Patih Lebak yang menghendaki Montigny digeser dari posisinya sebagai Asisten Residen Lebak. Ia menyangkal kesaksian Patih Lebak dan Jaksa Lebak yang menyudutkannya, kendati kedua pejabat pribumi itu memberikan keterangan di bawah sumpah. ”Lagipula sangat bodoh dan gilanya saya, bila mengambil perempuan untuk dijadikan gundik, apalagi yang dihukum lantaran selingkuh”, ujar Montigny dalam surat pembelaannya.

Selain dituduh memelihara gundik dan terlibat di dalam skandal seksual, Montigny juga dituduh terlibat di dalam peristiwa peracunan seorang pejabat pribumi. Ia pun menyangkal tuduhan itu, sembari menuduh balik ada konspirasi yang dirancang oleh Bupati Serang untuk meracun dirinya. Belakangan hari terbukti, bahwa racun yang disebut-sebut oleh Montigny yang digunakan untuk meracuninya, ternyata hanyalah obat penyubur jenggot belaka.

Wakil Direktur BB di dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda tertanggap 22 April 1908 menyarankan agar Montigny dipecat secara terhormat. Semua pejabat mulai dari Residen Banten Overduyn hingga pejabat pribumi setingkat Patih dan Jaksa menganjurkan agar Montigny segera dipecat dengan tidak hormat dari jabatannya sebagai Asisten Residen Lebak. Kesemua laporan, selain menyebutkan kesalahan lain, terutama sekali perilaku seksual Montigny yang keterlaluan, sebagai alasan untuk memecatnya tanpa hormat.

Bisa jadi juga, persoalan ini adalah taktik untuk melumpuhkan posisi Montigny. Bila dibandingkan dengan peristiwa Lebak yang sebelumnya menimpa Eduard Douwes Dekker, peristiwa yang dialami oleh Montigny juga melibatkan beberapa pejabat lain, baik dari kalangan Belanda yang dinilai cakap. Mereka punya idealisme yang tinggi, seperti halnya Eduard Douwes Dekker yang memerjuangkan rakyat Lebak, kendati akhirnya tersingkir. Tentu saja idealisme yang tak didukung oleh lingkungan sekitarnya, menimbulkan benih-benih konflik, karena pejabat senior merasa terancam oleh sepak terjang Asisten Residen muda penuh semangat.

Namun demikian, menarik diperhatikan, bahwa Wakil Direktur BB punya pendapat lain soal ini. Dia memandang Montigny perlu dipecat secara terhormat bukan karena prilaku seksualnya yang menyimpang, melainkan karena kurang bisanya dia menjaga relasi baik dengan rekan-rekan sejawatnya. Mungkin pandangan para petinggi kolonial terhadap Aisten Residen Montigny, sesuai dengan jiwa zaman yang sedang berlaku saat itu : pergundikan adalah sebuah hal yang wajar. Dan memelihara nyai yang berasal dari kalangan perempuan pribumi, bukanlah suatu hal yang dilarang. Barangkali saja Wakil Direktur Departemen Dalam Negeri Pemerintah Hindia Belanda itu punya opini yang sama dengan orang Belanda lainnya pada saat itu: ”al draagt een aap een gouden ring, het us en blijft leijk ding”.

*) Penulis adalah sejarawan. Bekerja sebagai redaktur budaya di Koran Jurnal Nasional, Jakarta.

Rangkasbitung dalam Sejarah Indonesia


Oleh : Bonnie Triyana


Hari itu, 22 Januari 1857, langit Rangkasbitung dihiasi awan putih bersemu kelabu ketika seorang Belanda yang ditugaskan sebagai Asisten Residen di Kabupaten Lebak berpidato. Puluhan orang berbaju rapih, duduk berjajar teratur menghadap sang Asisten Residen yang baru dilantik itu. Suasana takzim terpancar dari roman muka hadirin, terlebih dari sinar mata Asisten Residen yang memulai pidatonya.

”Tapi saya lihat, bahwa rakyat tuan-tuan miskin, dan itulah yang ”menggembirakan” hati saya.... Katakan kepada saya, bukankah si petani miskin? Bukankah padi menguning seringkali untuk memberi makan orang yang tidak menanamnya? Bukankah banyak kekeliruan di negeri tuan?”

Demikianlah tukilan pidato Eduard Douwes Dekker alias Multatuli alias Max Havelaar di hadapan para petinggi Kabupaten Lebak. Pidato yang kritis itu dilakukan di serambi kantor di Rangkasbitung, sehari setelah pengangkatannya sebagai Asisten Residen Lebak.

Pernyataan kegembiraan Douwes Dekker mengenai banyaknya rakyat miskin di Kabupaten Lebak bermakna sebagai sindiran halus, bagi para petinggi di Rangkasbitung. Melalui sindiran itu, dia berharap terjadi perubahan kinerja di kalangan pemerintahan di Rangkasbitung, yang saat itu terkenal korup.

Tingginya pajak, panen yang selalu gagal, kesenjangan ekonomi-sosial yang lebar dan menurunnya produksi ternak, menjadi sebuah keniscayaan yang tak terelakkan bagi penduduk Rangkasbitung, dan Lebak pada umumnya. Korupsi besar-besaran di kalangan pejabat pemerintahan kala itu, pun semakin menurunkan standar hidup penduduk. Situasi ini juga dialami di hampir seluruh daerah di Banten. Sehingga, pada masa selanjutnya, beberapa faktor pemiskinan tersebut, menjadi pemicu gerakan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial.

Begitulah kondisi umum Kabupaten Lebak di zaman kolonial, yang digambarkan secara gamblang oleh Douwes Dekker dalam novelnya ”Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda”. Benar, Douwes Dekker tak pernah berhasil mengangkat taraf hidup penduduk Lebak lebih baik; alih-alih, melalui sebuah konspirasi rivalnya, ia difitnah dan berhasil dicampakkan dari jabatannya sebagai Asisten Residen. Namun demikian, kendati dia seorang pegawai kolonial, semangatnya untuk melakukan perubahan dan meningkatkan taraf hidup penduduk Lebak, menjadi contoh yang patut ditiru.

Rangkasbitung dan Revolusi Indonesia

Kemiskinan telah menjadi keseharian penduduk Lebak. Dan dampaknya dari faktor itu pula, sifat radikalisme terbangunkan. Sejak pemberontakan komunis 1926, Rangkasbitung sebagai ibukota Lebak, menjadi kota terpenting kedua di Banten setelah Serang. Kota ini selalu dijadikan basis pergerakan politik para tokoh revolusioner Banten.

Pada Juni 1945 misalnya, menjelang menyerahnya Jepang, beberpa pemuda Banten yang tergabung dalam Badan Pembantu Keluarga Peta (BPP) dan beberapa unsur pemuda lainnya, mengadakan sebuah pertemuan rahasia di kediaman Tachril, di Rangkasbitung. Pertemuan yang disponsori oleh BPP itu, dilakukan untuk membicarakan kemungkinan kemerdekaan Indonesia pasca menyerahnya Jepang dan memilih wakil Banten untuk menghadiri konferensi pemuda di Jakarta pada 9 Agustus 1945.

BPP adalah sebuah organisasi sosial yang memberikan bantuan kepada keluarga dari prajurit-prajurit Peta dan Heiho yang sudah meninggal. Organisasi ini menerbitkan dua kali sebulan majalahnya, dengan nama Pradjurit. Majalah ini dipimpin oleh Oto Iskandardinata dan Sjamsudin Sutan Makmur (Nugroho Notosusanto: 1979).

Dalam pertemuan Rangkasbitung itu, hadir pula Tan Malaka, tokoh pergerakan yang ketika berada di Banten mengubah namanya menjadi Ilyas Husein. Sebagian besar pemuda yang hadir dalam pertemuan, menyatakan akan memutuskan setiap hubungan kerjasama dengan Jepang dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sebagian kecil lainnya berpendapat, masih perlu menjalin kerjasama dengan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Di tengah hiruk pikuk perdebatan, Tan Malaka mengemukakan pendapatnya, supaya perbedaan taktis itu hendaknya diselesaikan di konferensi Jakarta saja. Kemudian Tan Malaka menambahkan, bahwa perlu dibentuk sebuah organisasi sendiri dengan pemimpinnya sendiri yang sama sekali tak berhubungan dengan Jepang. Akhirnya pertemuan diakhiri dengan memilih Tan Malaka sebagai wakil Banten. Selain itu, terpilih juga enam orang radikal lainnya, Tje Mamat adalah salah satunya.

Pertemuan Rangkasbitung tersebut jarang disebut, dalam sejarah Indonesia, kecuali dicatat dalam laporan Tan Malaka, yang kemudian dikutip oleh Harry A. Poeze dalam bukunya ”Pergulatan Menuju Republik: Tan Malaka 1925-1945”. Pertemuan Rangkasbitung itu, diyakini menjadi tonggak awal beberapa peristiwa lain yang mewarnai kondisi politik Banten selama periode awal revolusi.


Dewan Perwakilan dan Terbunuhnya Bupati R.T. Hardiwinangun

Hubungan tokoh-tokoh revolusioner di Banten dengan Tan Malaka pada periode Jepang hingga masa awal kemerdekaan Indonesia, terjalin dengan dekat. Tokoh besar yang riwayatnya diselubungi misteri itu berhasil menanamkan pengaruh kuat dikalangan tokoh-tokoh tersebut. Didirikannya Dewan Rakyat oleh Tje Mamat diyakini, oleh karena anjuran Tan Malaka kepada segenap eksponen perjuangan di Banten, untuk mendirikan sebuah organisasi yang bertujuan demi kemerdekaan rakyat semata.

Kekacauan politik dan kekosongan pemerintahan, menyebabkan munculnya tindakan-tindakan beberapa kelompok politik, khususnya veteran pemberontakan 1926, untuk membalaskan dendam mereka kepada pejabat pemerintah, polisi dan orang-orang Belanda. Suasana revolusi yang euforistik mendorong kaum ulama mengambil alih kepemimpinan. Atas dasar itulah K.H. Achmad Chatib diangkat sebagai residen Banten. Kendati demikian, pemerintahan yang baru itu tak dapat segera mengendalikan keadaan. Pembunuhan tetap terjadi dimana-mana.

Di pihak lain, Tje Mamat dengan Dewan Perwakilan Rakyatnya semakin leluasa bergerak, bahkan dalam level tertentu mereka menjelma, menjadi penguasa Banten yang sesungguhnya. Tujuan mereka hanyalah satu: mencapai kemerdekaan rakyat Indonesia yang hakiki. Hubungan Dewan Rakyat dengan Pemerintahan Pusat RI di Jakarta yang renggang, membuat gusar Presiden Soekarno. Beberapa media massa di Jakarta memberitakan bahwa Banten, dibawah kendali Dewan Rakyat akan memisahkan diri dari Republik. Aksi bersenjata untuk membubarkan Dewan Rakyat pun dilakukan oleh TKR, Namun hal itu tak semudah yang diperkirakan pemerintah Jakarta. Dewan Rakyat tetap berkuasa.


Hingga akhirnya, Presiden Soekarno disertai Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Jaksa Agung Mr. Kasman Singodimedjo, mengunjungi Serang dan Rangkasbitung pada tanggal 9-12 Desember 1945. Dalam pidatonya di Rangkasbitung, Bung Karno mengatakan, bahwa kedaulatan rakyat jangan ditafsirkan secara harfiah. Adalah penting untuk menjaga persatuan nasional dalam bingkai Negara Republik Indonesia. Bung Hatta yang terkenal pendiam pun turut bicara, ia mengatakan, bahwa Dewan Rakyat tak berguna dan harus dibubarkan.

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta berada di Rangkasbitung, beberapa anggota Dewan Rakyat menculik dan membunuh Bupati Lebak R.T. Hardiwinangun di daerah Cisiih. Para penculik datang kepadanya dengan mengaku sebagai utusan Presiden Soekarno. Peristiwa pembunuhan itu tidak lain bertujuan untuk menunjukkan kepada Presiden Soekarno, bahwa Dewan Rakyat tidak main-main dengan tujuannya. Tetapi pada akhirnya Dewan Rakyat dibubarkan, dan para pembunuh Bupati R.T. Hardiwinangun berhasil ditangkap. Banten tetap menjadi bagian integral Republik Indonesia.


Setitik Rangkasbitung dalam Belanga Sejarah Indonesia

Seluruh rangkaian peristiwa tersebut, menunjukkan pergolakan sejarah yang pernah terjadi di Banten, khususnya di Rangkasbitung sebagai salah satu kota terpenting dalam aktivitas politik di Banten. Rangkasbitung dengan segala kekurangan dan kelebihannya memiliki posisi yang sangat penting dalam sejarah Indonesia. Kendati hanya sebuah kota kecil, Rangkasbitung, atau Kabupaten Lebak dalam skala yang lebih luas, merupakan memorabilia perjuangan bangsa yang sudah selayaknya diperkenalkan ke segala penjuru Indonesia, bahkan dunia.

Oleh karena itu, penting bagi segenap komponen masyarakat di Kabupaten Lebak untuk bersama-sama mengambil hikmah dari sejarah dan mewarisi serta memaknai sifat radikalisme rakyat Banten dalam bingkai transformasi yang progresif. Penggalan kisah diatas, merupakan rekreasi ke masa lampau yang bertujuan merefleksikan kembali berbagai hal dimasa lalu, sehingga kita bersama dapat mengambil pelajaran serta melakukan kritik dan otokritik bagi diri kita, sebagai bagian dari sejarah Rangkasbitung.

Sejarah ibarat Kartu Tanda Penduduk (KTP). Tanpa KTP kita takkan memiliki identitas, yang tentu akan sangat merepotkan. Begitu pula sejarah, tanpa seorang individu atau sekelompok masyarakat, bagaikan kehilangan ingatan (amnesia) dan tak memiliki jati diri. Dan Rangkasbitung, adalah seumpama satu pilar penyanggga bangunan sejarah Indonesia. Menghilangkan peran Rangkasbitung dalam sejarah Indonesia, sama halnya dengan meruntuhkan bangunan sejarah itu sendiri.

Sejalan dengan semua itu, Rangkasbitung sebagai salah sebuah kota bersejarah, menyimpan berbagai memori penting dalam kaitannya dengan sejarah Indonesia. Sejak zaman kolonial hingga awal kemerdekaan, Rangkasbitung terkenal sebagai salah satu pusat radikalisme rakyat Banten. Selain beberapa peristiwa penting, juga banyak tokoh nasional yang dilahirkan atau mengawali karirnya di kota ini.

Bagi Benjamin Mangkoedilaga misalnya, mantan hakim agung yang terkenal karena keberaniannya memutus TEMPO tak bersalah dalam kasus pembredelan tahun 1994, Rangkasbitung adalah sebuah kota yang memberinya inspirasi. Dari kota ini pula ia memulai kesuksesannya sebagai hakim. Oleh karena itu, untuk mengenang kembali pergaulannya dengan Rangkasbitung, ia menulis sebuah buku dengan judul ”Dari Alun-alun Timur Rangkasbitung ke Medan Merdeka Utara”.

Wajar jika W.S. Rendra menciptakan sebuah puisi ”Doa Pemuda Rangkasbitung Rotterdam”, dan harapan ribuan warga lainnya: semoga tak ada lagi ketimpangan sosial-ekonomi yang mendera, tak ada lagi kemiskinan yang meililit dan tak ada lagi korupsi yang merajalela.

-----o0o-----


Biodata :
Bonnie Triyana, adalah sejarawan muda kelahiran Rangkasbitung 27 Juni 1979, alumnus Jurusan Universitas Diponegoro, Semarang. Pernah bekerja sebagai wartawan harian Suara Merdeka, Semarang dan Majalah Gatra, Jakarta. Setelah ”pensiun muda” dari dua media tersebut, sekarang bergiat sebagai wakil direktur Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah (Mesiass), sebuah lembaga nirlaba yang berorientasi dalam pengembangan ilmu sejarah dan sosial di Indonesia. Juga tercatat sebagai direktur program di Institut Studi Transformasi Sosial (Instal), Jakarta. Pada Juni lalu diundang oleh Universidade Federal da Bahia (UFBA), Salvador, Brasil untuk menjadi pembicara dalam International Workshop on Youth Movement in the Age of Development. Kemudian atas sponsor Koninklijk Instituut Voor Taal, - Land,- en,- Volkenkunde (Lembaga Kerajaan Belanda untuk Bahasa, Budaya dan Sejarah) mengunjungi Belanda dan Jerman untuk mewawancarai eksil PKI. Karyanya yang telah dipublikasikan adalah Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Soekarno 30 September 1965- Pelengkap Nawaksara. Menjadi editor untuk buku Komunitas Tionghoa di Surabaya Ornop denga nPerserikatan Bangsa-Bangsa (Jakarta: IPF, 2004). Pada bulan Februari-Maret 2007 melakukan riset kepustakaan di Belanda dan Jerman. Kini bekerja sebagai Redaktur Budaya di Harian Umum Jurnal Nasional.

Peci Mubaligh NU Menjadi Identitas Bung Karno

Di sela-sela sidang Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada September 1959 Bung Karno menyatakan bahwa dia sebenarnya kurang nyaman dengan segala pakaian dinas kebesaran, tetapi semua ini dipakai untuk menjaga kebesaran Bangsa Indonesia.


“Seandainya saya adalah Idham Cholid yang ketua Partai NU atau Seperti Suwiryo, ketua PNI, tentu saya cukup pakai kemeja dan berdasi, atau paling banter pakai jas,” kata Bung Karno sambil melihat respon hadirin.

“Tetapi soal peci hitam ini, tidak akan saya tinggalkan. Soalnya, kata orang, saya lebih gagah dengan mengenakan songkok hitam ini, benar enggak Kiai Wahab ?” tanya Bung Karno pada Rois Am NU yang juga anggota DPA itu.

“Memang betul, saudara harus mempertahankan identitas itu. Dengan peci hitam itu, saudara tampak lebih gagah seperti para muballigh NU,” jawab Kiai Wahab Chasbullah. Pernyataan Kyai Wahab ini menyulut gelak tawa seluruh anggota DPA.

“Dengan peci itu saudara telah mendapat banyak berkah, karena itu ketika berkunjung ke Timur Tengah, saudara mendapat tambahan nama Ahmad,” seloroh Kiai Wahab.

“Betul,” sahut Bung Karno. ”Ketika saya ke Saudi, Raja Su’ud memberi gelar Ahmad kepada saya. Presiden Gamal Abdel Naser di Mesir dan Presiden Ben Bella di Aljazair serta kalangan pers seluruh Timur Tengah juga memberi nama tamabahan Ahmad kepada saya.”

”Ketahuilah olehmu Nasution, Ruslan Abdul Gani Nama Nabi kita itu banyak, ada Muhammad, Ahmad, Musthofa dan sebagainya. Dan kau Leimena, walaupun beragama Kristen, kau harus tahu bahwa nama Nabi Muhammad itu juga Ahmad.” Sementara mengucapkan kata-kata ini, para hadirin yang mengikuti sidang DPA pun manggut-manggut dalam suasana akrab. Lalu sidang DPA pun segera dimulai.

Bung karno, selain menjabat presiden, juga sekaligus menjabat ketua DPA. Karena itu, sidang-sidang DPA, Bung Karno-lah yang selalu memimpin.

Dengan gayanya yang informal, berbagai persoalan besar dan serius dibicarakan dalam forum ini. Walaupun disertai perdebatan seru, tetapi tetap berlangsaung dalam suasana kekeluargaan, saling menghargaai dan saling percaya.

Hal ini dikarenakan sidang-sidang DPA telah terarah pada satu tujuan, yaitu kebesaran bangsa Indonesia. Dan pecipun semakin kukuh menjadi identitas nasional bangsa Indonesia. (Abdul Mun’im DZ)

Diangkat dari Buku Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren,
Gunung Agung, Jakarta, 1987.

Kebangsaan di Tengah Keberagaman Aliran (Bagian II)



Bondan Gunawan S.

Aktivis Forum Demokrasi dan Ketua Yayasan Pusat Pengkajian Informasi dan Data (P2ID) Jakarta Dimuat di Media Indonesia, Kamis 20 Mei 1994

Upaya membangun kebudayaan Indonesia merupakan tanda kebangkitan nasional yang sekaligus menjadi kerangka dasar bagi pengelompokan masyarakat, dalam rangka itu berbagai ragam pemikiran yang menghimpun seperangkat nilai baru untuk menjadi acuan utama. Oleh karena aktivitas tersebut juga membangun pengelompokan politik baru, tampaknya ragam pikiran yang menjadi acuan pada gilirannya menjadi aliran politik yang berlanjut sepanjang perjalanan masa.

Dari pandangan tersebut bisa dikatakan bahwa aliran politik merupakan produk kebudayaan dalam rangka memperbarui kebudayaan itu sendiri. Sebelum Negara Indonesia terbentuk, aliran politik merupakan wujud pembaruan juga yang menjadi unsur penting terbentuknya bangsa Indonesia. Oleh karena itu kebangsaan Indonesia adalah juga produk kebudayaan.

Fenomena Kebangsaan
Dialektika kemasyarakatan dalam prosesnya juga menciptakan ikatan emosional antara manusia dan masyarakatnya. Ikatan tersebut membentuk loyalitas kultural yang sikapnya selaras dengan tata nilai yang berlalu. Dalam kebudayaan yang terbentuk melalui aktivitas manusia yang banyak tergantung pada alam, loyalitas manusia bersifat alamiah seperti pada keturunan, suku bangsa, agama. Bagi kebudayaan yang di bangun dengan mengandalkan kekuatan rasio manusia, loyalitas kultur menjadi lebih artifisial seperti pada gagasan politik hubungan ekonomi dan sebagainya.

Masyarakat kita yang mulai menyerap nilai baru dari masyarakat barat pada gilirannya mempengaruhi pola pengelompokan baru yang tidak sekedar meningkatkan diri pada loyalitas lama. Dengan pola pengelompokan itu berbagai organisasi sosial politik juga mencetuskan nilai-nilai baru yakni kebangsaan Indonesia. Oleh karena itu kebangsaan pertama-tama hadir dalam kesadaran subyektif manusia. Kesadaran subyektif tersebut untuk kemudian menjadi realitas obyektif dalam mewujudkan negara melalui gerakan politik. Realitas obyektif bangsa pada akhirnya juga menciptakan loyalitas artifisial yakni ikatan kebangsaan.

Dalam pandangan Emerson dalam konteks loyalitas manusia dan masyarakat, maka realitas bangsa itu merupakan bentuk masyarakat terakhir yang memperoleh loyalitas anggotanya.

Kebangsaan dalam pengertian diatas bukanlah sekedar rasa semangat atau wawasan saja. Kebangsaan adalah suatu paham yang terdiri dari seperangkat nilai yang di yakini kebenarannya dan menjadikan pedoman dalam hidup bermasyarakat. Seperti nilai tersebut terdiri dari pandangan hidup, sistem penjelasan tentang realitas mengandung cita-cita dan juga cara yang direkomendasi untuk mencapai cita-cita itu. Karena itu kebangsaan adalah produk aktivitas manusia dalam membangun dunia sebagai keharusan antropologisnya.

Sebagaimana dinyatakan terdahulu bahwa manusia mempunyai hubungan ganda terhadap dunia. Kecuali manusia berada dalam suatu dunia yang mendahului eksistensinya manusia juga membangun dunia bagi dirinya. Dinamika perkembangan masyarakat nusantara dalam waktu tertentu sampai pada tahap kemajuan etnis kultural dan sekaligus terbelenggu oleh penjajahan masyarakat Barat. Realitas tersebut merupakan eksistensi dunia yang mendahului hadirnya generasi penerus. Keharusan membangun dunia bagi generasi tersebut mendorong penciptaan kebudayaan baru atau memperbarui kebudayaan. Melalui kebudayaan nilai-nilai kemajemukan dan penjajahan dipertanyakan relevansinya.

Mengapa nilai-nilai itu tidak relevan dengan perkembangan masyarakat, maka paham kebangsaan tercipta sebagai bagian dari pembaruan kebudayaan. Pembaruan tersebut mencetuskan nilai-nilai baru berupa integrasi nasional dan ide pembebasan. Perwujudan nilai-nilai tersebut dalam realitas historis mendorong aktivitas pergerakan kebangsaan dalam rangka pembentukan negara bangsa tersebut dengan kebudayaan baru.

Dengan demikian kebangsaan Indonesia adalah suatu upaya pembaruan kebudayaan yang berproses secara dialektik melalui kegiatan manusia dalam hubungannya dengan masyarakat. Oleh karena sifat yang demikan, kebangsaan Indonesia senantiasa diletakkan dalam wawasan kemanusiaan sehingga tiap upaya perwujudan kebangsaan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari fenomena kemanusiaan untuk itu kekhawatiran kebangsaan Indonesia menjadi chauvinistis tidak beralasan. Karena sejak semula semua pembentukan kebangsaan Indonesia merupakan bagian dari dinamika kemanusiaan yang tersusun dalam formasi bangsa-bangsa.

Kebangsaan Indonesia sebagai produk kultural adalah juga tidak bersifat xenophobia. Kebangsaan kita tidak apriori menolak kebudayaan asing, modal asing dan segala asing lainnya.

Karena proses terbentuknya kebangsaan justru melanjutkan tradisi masyarakat kita ketika bereaksi dalam pergumulan kebudayaan yakni bersifat sinkretis. Segala hal baru yang di perkenalkan atau diciptakan, sepanjang mempunyai relevansi dengan masyarakat akan diterima sebagai kebudayaan sendiri. Sementara yang dipandang tidak relevan, masyarakat terbiasa bereaksi tanpa diperintah. Oleh karena itu faham kebangsaan juga menerima segala ide masyarakat Barat seperti demokrasi, konstitusionalisme, hak azasi manusia dan sebagainya.

Untuk sementara bisa segera diringkas bahwa kebangsaan Indonesia itu terwujud melalui politik aliran yang pada dasarnya merupakan produk kebudayaan. Ia juga merupakan perwujudan dari pembaruan kebudayaan. Oleh karena kebangsaan merupakan bentuk masyarakat terakhir yang memperoleh loyalitas anggotanya di atas kesetiaan kelompok yang lebih kecil dan juga dari tarikan luar yang lebih besar, maka dalam rangka pembangunan manusia dan masyarakat Indonesia, tanpaknya realitas aliran tidak mungkin diabaikan. Yang di maksud aliran di sini adalah pengelompokan politik yang dipedomani oleh seperangkat nilai sebagai hal yang harus diperjuangkan. Dalam pengertian aliran semacam ini kerangka kebangsaan harus mampu menyiapkan diri mengakomodirnya. Sebab pengelompokan tersebut lebih bersifat dan fungsional bagi pembentukan hubungan negara dan rakyatnya. Pola pengelompokan politik gaya orde baru yang hanya bersifat pragmatis dilandasi kepentingan sempit tidak mungkin dipertahankan sebab dia menjadi faktor penting terjadinya erosi nasionalisme yang belakangan ini mengkhawatirkan.

Kebangsaan di Tengah Keberagaman Aliran

Bondan Gunawan S.

Aktivis Forum Demokrasi dan Ketua Yayasan Pusat Pengkajian Informasi dan Data (P2ID) Jakarta Dimuat di Media Indonesia, Kamis 19 Mei 1994

Dalam tatanan global dewasa ini, Negara bangsa masih tetap merupakan realitas histories yang menjadi bumi berpijak kegiatan kolektif manusia. Setiap Negara bangsa terdiri dari pengelompokan-pengelompokan ploitik warga bangsanya. Menelaah pola pengelompokan tersebut berbagi teori tercipta guna membantu masyarakat dalam menafsirkan realitas. Teori mana yang dianggap relevan dan dipilih, tergantung dari kebijakan masyarakat itu sendiri.

Bangsa kita pernah terbiasa dipilah-pilah menggunakan konsep aliran. Konsep tersebut tersosialisasi cukup luas mengendap dalam kesadaran masyarakat. Hingga pada gilirannya ketika seorang melakukan identifikasi politik senantiasa dihubungkan dengan aliran. Hal itu terbentuk karena kategori aliran dipandang sebagai pelembagaan seperangkat nilai dan norma yang tumbuh dari masyarakat. Karena itu wujud aliran juga merupakan produk kebudayaan yang nuansanya terkait dengan tata nilai suatu etnis, agama serta pemikiran sosial politik masyarakat sendiri maupun dari masyarakat luar.

Seperti halnya sebutan santri dan abangan konsep aliran pada mulanya diintrodusir oleh Clifford Geertz. Dalam pandangan antropologi kenamaan itu, partai-partai politik di Inonesia pasca kemerdekaan diibaratkan sebagai aliran sungai yang di ikuti sejumlah anak sungai. Setiap partai politik yang mempedomani diri dengan ideologi yang hendak diperjuangkan adalah aliran umumnya yang diikuti organisasi massa dan organ lain yang bernaung dibawah payung partai, dalam pandangan ini jumlah aliran di Indonesia berarti sebayak partai politik yang ada.

Herbert Feith juga menempatkan pengelompokan politik di Indonesia kedalam mode aliran. Namun ia menggolongkan aliran tidak sama dengan Geertz. Dalam pengertian Feith aliran politik di Indonesia terdiri dari Islam, Nasionalis Radikal, Komunis, Sosialis dan Jawa Tradisionalis.

Jika makna aliran seperti dimkasudkan maka sesungguhnya Soekarno lebih dulu membangun pemikirannya sebelum kemerdekaan.

Diawal karir politiknya dan sampai akhir hayatnya, Soekarno melihat pengelompokan politik sebagaimana tercermin dalam setiap asas pergerakan, masyarakat kita yang bersifat Nasionalistis, Islamistis, dan Marxistis. Bahan Soekarno menggagas lebih jauh bahwa meskipun ketiga sifat itu menyimpan perbedaan, namun unsur persamaannya dianggap bisa dipersatukan dan harus dipersatukan

Benhard Dahm menyimpulkan justru karena Soekarno tidak bersedia meninggalkan gagasan itu, ia harus membayar mahal dengan kehilangan kekuasaan yang dipegangnya.

Dalam sikap menghakimi, banyak orang menuding realitas aliran sebagai biang kerok ketidakstabilan politik Indonesia. Untuk kemudian tumbuh gagasan ingin menghapus aliran melalui penataan sistem politik. Menindak lanjuti gagasan tersebut berbagai operasi politik digelar dan kebijaksanaan baru dilahirkan.

Hasilnya kita lihat sampai saat ini dimana stabilitas nasional tercipta cukup mapan. Cerita ganti-ganti kabinet tidak dijumpai lagi lalu orang sedikit gelisah ketika bicara suksesi.

Sekian waktu realisasi gagasan menghapus aliran dijalankan. Akhir-akhir ini orang sedikit galau menangkap gejala tumbuhnya kembali politik aliran. Dengan menunjuk fenomena berkembangnya ICMI dan tampilnya Megawati sebagai ketua PDI, dipandang politik aliran hadir sebagai tanda-tanda jaman. Sementara yang lain menganggap konsep aliran sudah tidak relevan lagi.

Karena realitas politik berebda terutama ketika orde baru dipandang cukup efektif dalam melancarkan depolitisasi, dimana hubungan partai sudah dipangkas dengan massanya.

Antara setuju dan tidak terhadap anggapan di atas, disisi lain masyarakat tampak gelisah hingga perlu mempertanyakan kembali makna kebangsaan kita. Dalam nada yang sama. Sebagian yang lain malah terdorong mencari ”Nasionalisme Baru” kecuali karena dinamika internal bangsa sendiri tampaknya kegelisahan juga dirangsang oleh menebarnya pemahaman globalisasi dan juga berita berdarah dan krisis masyarakat yang ditandai dengan semangat sektarian seperti dicontohkan Eropa Timur dan sebagainya.

Menghadapi fenomena yang berkembang makna kebangsaan memang penting digali kembali. Sekaligus juga perlu dipikirkan bagamana meletakkan pengelompokan politik masyarakat didalam kerangka kebangsaan yang dibangun di atas kemajemukan.

Produk Kebudayaan
Dalam pandangan sosiologi fenomologi fenomena kemasyarakatan itu bersifat dialektis. Masyarakat adalah produk kegiatan manusia dan manusia adalah produk masyarakat. Gejala tersebut tercipta karena manusia mempunyai hubungan ganda terhadap dunia.

Kecuali manusia berada dalam suatu dunia mendahului eksistensinya, manusia juga harus membangun dunia bagi dirinya. Dunia itu kultur yang tercipta melalui kegiatan-kegiatan manusia sendiri.

Tujuan pokok dari setiap kultur adalah untuk memberikan struktur yang kokoh bagi kehidupan manusia yang tidak dapat dipenuhi secara biologis. Produk itu dapat berupa benda-benda material, pranata-pranata sosial maupun kekayaan-kekayaan nonmaterial, denga demikian kebudayaan sesungguhnya merupaka unsur utama dalam proses pengembangan diri manusia dan masyarakatnya.

Melalui kebudayaan masyarakat mendapatkan sumber utama tata nilai yang dihayati dan dianutnya. Sebagai sumber tata nilai setiap kebudayaan dituntut senantiasa bisa memperbaruhi diri agar tetap punya relevansi dengan dinamika masyarakatnya. Hal tersebut bersifat terbuka terhadap hadirnya nilai-nilai baru. Sementara itu nilai-nilai baru bisa tumbuh, jika kebudayaan itu sendiri berkemampuan memberi rangsangan kepada masyarakat untuk selalu mencipta.

Dengan kemampuan mencipta dan mencipta kembali setiap masyarakat dan kebudayaan berkembang dalam suatu pola yang disaat tertentu kadang melahirkan krisis. Setiap krisis menantang untuk dihadapi, kemampuan keluar dari krisis itu pada gilirannya menghantar perkembangan masyarakat pada tahap yang baru. Pola semacam ini merupakan ciri masyarakat maju seperti dicontohkan belahan dunia barat yang ditandai oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Contoh lainnya umum juga memandang bahwa keunggulan kapitalisme versus sosialisme justru karena kemampuan memperbaharui itu melekat dalam kebudayaan kapitalis.

Berbeda dengan kebudayaan barat yang lebih berorientasi pada pengembangan rasio dan materi masyarakat nusantara dalam proses dinamikanya berorientasi pada keseimbangan. Orientasi ini umum dipandang menyimpan kekuatan dan juga kelemahan. Kekuatannya ditunjukan dalam kemampuan masayarakat mengakomodir pergumulan berbagai kebudayaan menjadi kebudayaan baru. Hal ini disimak bagaimana proses perkembangan masyarakat kita kemudian menjadi masyarakat suku bangsa yang juga bergumul dengan nilai dan norma Hidu, Islam dan kebudyaan barat. Pergumulan tersebut kemudian menghasilkan kemajemukan masyarakat nusantara. Boleh jadi Empu Tantular menulis semboyan Bhinneka Tunggal Ika telah mengilhami ambisi politik Gadjah Mada dan merupakan cermin kebijakan seorang pujangga dalam melihat realitas kehidupan manusia.

Kelemahan sifat kebudayaan kita menjadi tampak terutama kalau dibanding kebudayaan barat, bahkan realitas sejarah menceritakan bahwa kelemahan tersebut diperlihatkan dengan hadirnya penjajahan Barat atas masyarakat kita yang notabennya menggunakan keunggulan kebudayaannya. Namun melalui penjajahan itu pula pergumulan kebudayaan terjadi dalam intensitas yang tinggi dimana masyarakat kita bereaksi dalam pola menerima atau menolak secara krirtis melalui pergumulan itu kunci kekuatan budaya barat mulai diserap oleh masyarakat dan dijadikan unsur penting bagi pengembangan kebudayaan itu sendiri. Untuk kemudia kita lihat reaksi intelektual masyarakat kita dicontohkan Kartini, Tjokroaminoto, Soekarno, Tan Malaka, Syahrir, Hatta dan sebagainya.

Dalam pengertian diatas pola reaksi intelektual itu pada dasarnya merupakan upaya memperbaruhi kebudayaan untuk mencipta kebudayaan baru. Reaksi tersebut mengambil bentuk pemakaian unsur kekuatan budaya barat dipadukan dengan keunggulan budaya sendiri.

Disini kemudian tumbuh berbagai macam aliran pemikiran masyarakat kita yang juga dalam rangka menciptakan kebudayaan baru yakni kebudayaan Indonesia.

bersambung ke tulisan ke II

Di Banten Kemerdekaan Berulangkali Dibicarakan

Oleh : Peneliti Sejarah Hendri F Isnaeni


Peran pemuda Banten dalam upaya merebut kemerdekaan Indonesia sangat besar. Siapa sangka ternyata wacana kemerdekaan Indonesia, sudah dibicarakan di Banten sebelum 17 Agustus 1945. Berikut wawancara Radar Banten dengan peneliti sejarah PSIK Universitas Paramadina Jakarta, Hendri F Isnaeni, yang menguak fakta peran pemuda Banten.

Menurut Anda apa arti kepahlawanan?

Setiap kali bicara tentang pahlawan, kebanyakan orang berpikir tentang pejuang yang mengangkat senjata untuk merebut kemerdekaan dari penjajah. Tidak ada yang salah, sebab kita harus mengenang mereka yang telah tiada dan menghargai mereka yang masih hidup karena telah berjuang secara fisik untuk memerdekakan Indonesia.

Untuk konteks sekarang, definisi kepahlawanan harus diaktualisasikan dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan sekarang. Pahlawan itu tanpa batas dan ukuran, siapa pun bisa jadi pahlawan. Bahkan konkretnya bisa sederhana dan dalam ruang ling kup yang kecil sekalipun pahlawan bisa hadir.

Yang menjadi penyebab utama model kepahlawanan “kekuatan fisik” masih menghuni pola pikir masyarakat adalah tidak terjadi transformasi nilai-nilai kepahlawanan dari kekuatan fisik (militer) ke bentuk profesionalisme. Hal ini dikarenakan tidak ada character building di bangsa ini. Tidak terjadi penghormatan terhadap prestasi dan terhadap proses. Ini menyebabkan transformasi nilai-nilai kepahlawanan ke model-model kepahlawanan yang lain tidak berkembang, seperti kepahlawanan sosial, religius, ekonomi, bidang disiplin ilmu tertentu seperti penemu, kepahlawanan terhadap kreativitas, dan sebagainya.

Bagaimana peran orang Banten dalam kemerdekaan Indonesia?

Banten memiliki peran besar dalam merebut kemerdekaan. Wacana kemerdekaan telah dibicarakan di Banten sebelum proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, 17 Agustus 1945.

Adalah Tan Malaka yang ketika itu menyamar dengan nama samaran Ilyas Hussein yang memompa semangat perjuangan di Banten. Tanggal 9 Agustus 1945, Tan terlibat rapat rahasia dengan para pemuda Banten di Rangkasbitung. Dalam rapat ini, untuk kali kedua Tan bertemu Ajip Muchammad Dzuhri. Pada awal 1945, Dzuhri dengan Tan pernah berbicara panjang lebar di Serang. Awal Agustus 1945, Dzuhri menerima berita dari pemuda Serang, ketika itu Tan tinggal di Pandeglang, bahwa Tan harus hadir pada pertemuan di sana, atas undangan utusan dari Jakarta (Chalid Rasyidi, aktivis pemuda Menteng 31 dan juga seorang pimpinan Barisan Pelopor). Rasyidi berperan sebagai penghubung untuk pemuda Banten dengan tokoh-tokoh radikal terkemuka di Jakarta, seperti Sukarni dan Chairul Saleh. Rasyidi sebagai anggota organisasi perlawanan Barisan Indonesia Merdeka (BIMA), yang hendak mengorganisasi rakyat melawan pemerintah pendudukan dan melakukan sabotase-sabotase. Rapat BIMA dibatalkan. Beberapa hari kemudian seorang kurir membawa kabar, rapat dialihkan ke tanggal 9 Agustus 1945 dan akan dilangsungkan di Rangkasbitung di rumah M Tachril, pegawai Gemeenschappelijk Electriciteitsbedrijf Bandoeng en Omstreken (GEBEO/Gabungan Perusahaan Listrik Bandung dan Sekitarnya). Dalam rapat ini, Dzuhri bersama empat kawan sependirian, antara lain Tan Malaka, sebagai wakil dari Bayah. Dua kawan lainnya datang dari Serang dan Pandeglang. Kelimanya menyatakan diri mewakili pemuda Banten.

Dalam rapat itu, Tan menyerukan kepada semua hadirin untuk segera menghubungi tiga Daidanco di Banten untuk mencari dukungan. Proklamasi harus ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta sebagai wakil rakyat Indonesia. Bagaimana jika mereka tidak bersedia menandatanganinya? Dengan tegas Tan mengatakan, “Saya sanggup menandatangani asal seluruh rakyat dan bangsa Indonesia menyetujui dan mendukung saya”.

Kita harus bangga, bahwa di Banten kemerdekaan berulang kali dibicarakan. Bahkan, desakan untuk segera merdeka, yang disampaikan melalui utusan Banten, Tan Malaka, telah mendorong para pemuda radikal di Jakarta untuk bergerak sesegera mungkin mendesak proklamasi kemerdekaan

Tapi kenapa pejuang Banten jarang digelari pahlawan nasional?

Pahlawan nasional merupakan gelar yang diberikan oleh pemerintah. Prosesnya harus diusulkan oleh masyarakat atau lembaga dengan menyiapkan fakta-fakta sejarah dan dokumen yang memperkuat seorang calon pahlawan nasional. Prosedurnya melalui tahapan, Tingkat II lewat Pembina Pahlawan Tingkat II kemudian ke Tingkat Provinsi. Kalau sudah di Tingkat Provinsi harus ditandatangani oleh Gubernur, yang bertindak sebagai Kepala Pembina Pahlawan Tingkat Provinsi. Lalu di ajukan ke Badan Pembina Pahlawan Pusat Departemen Sosial. Lembaga inilah yang akan menggodok fakta-fakta sejarah yang ada, ditelusuri kebenarannya, baru diputuskan apakah layak menjadi pahlawan nasional atau tidak. Adakah tokoh Banten yang layak menjadi pahlawan nasional? Tentu saja ada, namun siapa yang akan mengusulkannya? Mengingat pahlawan nasional adalah “gelar prosedural”.

SEBUAH RENUNGAN NASIONALISME DI TENGAH ARUS GLOBALISASI

Oleh : Topari *

Ketika kita menginjak pendidikan Sekolah Dasar, kita selalu ingat sejarah nasional dan para tokoh pahlawannya yang penuh heroik dalam mengantarkan berdirinya Republik tercinta ini. Dalam peringatan tiap tahun di bulan Mei, dimana tonggak sejarah Kebangkitan Nasional dengan berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun 1908. Semua itu tidak lepas dari spirit para pejuang diantaranya dr. Wahidin Sudirohusodo yang dengan bahasa sederhana beliau mengatakan "kalau bangsa kita dapat meludah bersama, maka penjajah Belanda yang ada disini pasti semua tenggelam". Jelas ucapannya yang menganjurkan semangat kebangsaan dan akhirnya berhasil "membakar" semangat pemuda di berbagai daerah Indonesia tahun 1928, yang lebih dikenal sebuah komitmen nasional "Sumpah Pemuda" yang kemudian menjadi daya dorong diproklamirkannya Negara Kesatuan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 dengan Dasar Negara Pancasila yang sebelumnya telah dipaparkan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari Lahirnya Pancasila.

Sesudah kemerdekaan, semangat kebangsaan diuji berbagai pemberontakan dalam negeri dan serangan ideologi liberalisme dan komunisme yang datang dari luar dengan situasi dunia terpolarisasi pada dua kutub kekuatan, yaitu liberalisme dan komunisme. Pada saat itulah konsepsi Pancasila disampaikan oleh Presiden Soekarno dihadapan Sidang Umum PBB ke-15 pada tanggal 30 September 1960 di New York, dengan judul pidato "to build to world a new" bahwa dalam membangun dunia baru diperlukan ideologi, pandangan hidup, semangat dan jiwa Pancasila yang lebih hebat dari jiwa liberalisme yang tertuang dalam "Declarations of Independent" dan jiwa komunisme yang tertuang dalam "Communist Manifesto". Beliau mengatakan waktu itu bahwa "Believe in God, Nationalism, Internationalism, Democracy and Social Justice".

Dalam kenyataan perjalanan tawaran konsepsi Pancasila dipakai di skala internasional harus berhadapan dengan kekuatan liberalisme yang dikemas dengan bentuk konsepsi pembangunan yang ditawarkan berupa kemudahan hutang luar negeri demi pembangunan ekonomi diatas budaya liberalisme yang kini sudah berkembang jadi neoliberalisme yang mendunia bersama perkembangan globalisasi. Kultur kekeluargaan sudah ditinggalkan, seperti semangat yang bersemi di Boedi Oetomo hancur dihantam boldouzer neoliberalisme dengan dalih demokrasi, perlindungan HAM dan globalisasi.

Tekanan penerapan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia dan globalisasi oleh negara-negara liberal seperti Amerika Serikat dan Inggris terhadap negara-negara berkembang dan miskin semakin keras. Celakanya, negara yang tidak mengikuti standar demokrasi, HAM dan globalisasi negara maju tersebut terus mendapat tekanan hingga sanksi embargo ekonomi. Menolak tekanan sekutu Amerika memang harus dipertimbangkan secara matang. Bagaimana kekuatan dan kelemahan diri bangsa itu sendiri. Bisakah bangsa itu mandiri tanpa bantuan sekutu Amerika dan lembaga internasional lainnya seperti IMF, IBRD dan UNDP?. Yang tidak kalah penting adalah dukungan dan integritas bangsa itu terhadap pemimpinannya.

Seperti yang ditulis oleh John Perkins dalam bukunya berjudul “Comfessions of an Economic Hit Man” bahwa ekonomi global dibangun dengan membuat sistem “patron-klien” ketergantungan negara pengutang (klien) dengan negara donor (patron) yang susah untuk dibongkar. Untuk membongkar belenggu hubungan Patron-klien dengan membangun kemandirian, kepercayaan diri, dan melepaskan ketergantungan pada negara Patron. Sebagai contoh :

1. Kemenangan Hamas di pemilu Legislatif Palestina;
2. Ahmadinejad di pemilu Presiden Iran;
3. Nasionalisasi aset migas Bolivia dibawah Presiden Evo Morales;
4. Nasionalisasi aset migas Venezuela dibawah Presiden Hugo Chavez.

Nasionalisme era sekarang memang perlu diwujudkan dalam kecerdikan mengelola peluang yang timbul dari globalisasi dengan semangat meningkatkan kesejahteraan rakyat, harkat dan martabatnya tidak hanya sekedar janji-janji saat akan meraih kekuasaan dengan dukungan para pemilik modal baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Globalisasi mengarah pada persaingan antar bangsa dan antar negara yang dimensi utamanya terletak pada bidang ekonomi, budaya dan peradaban.

Setelah krisis ekonomi yang berlangsung sudah 8 tahun lalu, sejak tahun 1997 dan sudah 4 (empat) kali pergantian presiden (pasca Orde Baru), tetap saja kalau soal peranan hutang dan modal asing selalu lancar-lancar saja, artinya tetap mau "dijajah". Biarpun MPR waktu itu sudah memerintahkan penghentian kerjasama dengan IMF, namun pemerintah dibawah para teknokrat ekonomi yang berpandangan neoliberalisme sulit melepas diri dari cengkeraman IMF. Hal tersebut dengan semakin menguatkan masa"korporatokrasi", yakni menyatunya kekuatan sejumlah korporasi besar seperti Rio Tinto, Freeport, Newmont, Exxon Mobil, Shell yang kawin dengan kekuatan politik dari pemerintah yang kapitalis disokong perbankan untuk menguras Sumber Daya Alam dan menjajah kembali bangsa-bangsa yang mau dijajah. Oleh karena diperlukan seorang pemimpin bangsa yang berani dan tidak gentar terhadap tekanan arus globalisasi, hal tersebut tentunya dapat diperoleh apabila kita sebagai bangsa memegang falsafah Pancasila sebagai pemersatu yang dijunjung diatas segala-galanya.

Seorang pemimpin bangsa sangat menetukan arah dan watak bangsa itu. Ketika bangsa ini dipimpin Soekarno, Indonesia mempunyai citra bangsa yang berani, tidak gentar terhadap tekanan, mandiri, dan diplomasi sehingga disegani dan selalu menjadi motor penggerak negara-negara berkembang. Citra bangsa yang kuat dari tekanan negara maju saat ini ditunjukkan oleh Palestina dengan kemenangan kelompok Hamas, Irak dibawah Saddam Husein yang akhirnya harus dibombardir hanya alasan tidak demokratis, Iran dibawah Presiden Mahmoud Ahmadinejad dengan tegas menolak keputusan badan Internasional (PBB) karena pengembangan teknologi nuklir untuk perdamiaan dan bukan monopoli negara maju, Korea Utara, Malasyia dibawah Mahathir Muhammad, China yang melawan prinsip WTO dan akhir-akhir ini Brasil, Venezuela dan Bolivia.

Keputusan Bolivia dibawah pimpinan Presiden Evo Morales menasionalisasi usaha eksploitasi minyaknya merupakan kebijakan yang berani dan mengejutkan banyak pihak karena dianggap melawan prinsip globalisasi yang sedang dilaksanakan negara-negara maju kepada negara-negara berkembang. Terlambat atau tidak, tekad Bolivia menasinalisasi eksplorasi sumber daya alamnya untuk kepentingan nasional ini menunjukkan adanya kebangkitan dan keberanian seorang pemimpin untuk menyelamatkan bangsanya sendiri.

Ketimpangan ekonomi dunia saat ini sedang dirasakan negara-negara berkembang. Negara berkembang yang kaya sumber daya alam selama ini justru lebih miskin ketimbang negara maju. Negara maju dengan berbagai alasan bisa mengeksploitasi sumber daya alam negara berkembang. Celakanya, negara maju pembawa modal dan teknologi ini justru mendapat bagian yang jauh lebih besar daripada pemilik sumber daya alam itu. Akibatnya negara berkembang kaya alam itu tidak dapat menikmati hasil karena sebagian besar dibawa lari ke negara maju.

Nasionalisasi Bolivia tidak sepenuhnya salah, kalaupun nasionalisasi itu berdampak pada cadangan dan harga minyak dunia merupakan pengaruh tidak langsung. Jadi, jangan kebijakan Bolivia dianggap sebagai perusak ekonomi dunia. Bolivia ingin makmur dari pengelolaan hasil kekayaan sendiri, tidak tertekan apalagi bergantung pada lembaga internasional lainnya. Hal ini juga dilakukan oleh China dan Malasyia dibawah Mahathir Muhammad.

Kepemimpinan yang bisa menjadi role model dan lebih mandiri terbukti mengantarkan China dan Malasyia lebih maju ketimbang Indonesia. Boleh saja orang berpendapat prinsip globalisasi. Tetapi apa pendapat rakyat jika kediktatorannya itu terbukti membuat negaranya lebih maju dan makmur?. Bandingkan dengan Indonesia yang sudah berupaya melaksanakan demokrasi dalam segala bidang baik dalam konsepsi tatanan ketatanegaraan sampai lahirnya proses Amandemen terhadap UUD 1945 sampai 4 kali dengan dalih ingin perubahan yang mendasar tanpa memperhatikan prinsip ketatanegaraan yang sudah baku sehingga nampak jelas bangunan NKRI dibuat berwajah ganda antara sistem presidensial dan sistem parlementer yang berdampak pada produk Undang-Undang yang tidak berpihak pada rakyat, sebagai contoh konsepsi penataan ketenagakerjaan sampai lahirnya paket UU Ketenagakerjaan (UU No 21 Tahun 2000, UU No 13 Tahun 2003 dan UU No 2 Tahun 2004) yang lebih berpihak pada pemilik modal, perlindungan HAM dan menandatangi perdagangan bebas baik AFTA, NAFTA dan bagian dari WTO. Hingga kini, Indonesia justru terpojok karena dinilai belum demokratis, dan pelanggar HAM. Akibat tekanan ini kekayaan alam harus beralih ke pihak asing dan pertumbuhan ekonomi nasional dikendalikan oleh negara-negara maju.

Saat ini, Indonesia bisa bangga terpilih sebagai anggota Dewan Hak Asasi PBB dengan dukungan 165 negara. Tetapi, bisakah bangsa ini membela dirinya sendiri ketika dituduh sebagai pelanggar HAM? Seorang anak bangsa Enrico Gueteres yang membela keutuhan NKRI di penjara sebagai pelaku pelanggar HAM. Dan, bisakah bangsa ini menolak sanksi pelanggaran HAM yang selalu dituduhkan Amerika kepada negara-negara tertindas?. Satu hal yang sangat krusial bahwa kita sebagai bangsa yang besar baik sebagai negara agraris, bahari, kekayaan sumber daya alam (minyak bumi, gas, nikel, dll) ironis sekali kita anggota OPEC tapi mengimpor minyak, impor beras, kedelai, daging ayam, dan menyitir sabutan Wakil Presiden kita bahwa pakar-pakar pertanian dari IPB sudah banyak yang mempunyai posisi strategis di Republik ini bahkan Presiden kita seorang Doktor jebolan IPB, Wakil Presiden kita Wali Amanah IPB tidak mampu memformulasikan peningkatan hasil bumi yang mampu mencukupi hajat hidup rakyat.

Sudah saatnya kita semua untuk bisa saling bahu-membahu agar bisa memberikan arti yang sesungguhnya kepada para pemimpin bangsa ini bahwa "Vox Populi, Vox Dei" (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan) mampu memberikan daya dorong untuk bisa hidup berdikari tanpa ada tekanan dari para kaum imperialisme dan kapitalisme yang sudah menjadi janin dan tumbuh dalam kehidupan kita tanpa terasa dengan pola budaya komsumerisme, politik media/pencitraan/iklan yang telah tanpa terasa menghayutkan sendi-sendi agar budaya kita yang bercirikan Pancasila 1 Juni 1945.

Bolivia dan Indonesia merupakan dua bangsa yang berbeda pandangan. Bolivia tidak pernah memuat prinsip ekonomi kerakyatan pada UUD-nya, tetapi berupaya memakmurkan rakyat dari hasil alamnya. Sebaliknya, Indonesia yang berjanji pada pasal 33 UUD 1945 sebagai penterjemahan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila justru tidak bisa memanfaatkan kekayaan alamnya untuk kemakmuran rakyatnya. Bagaimana ini bisa terjadi ?

*Ketua DPD Pemuda Demokrat Indonesia Provinsi Banten

Minggu, 17 Januari 2010

PANCASILA SEBAGAI PAKEM DALAM HIDUP BERBANGSA & BERNEGARA


Tiada kata yang indah dan mulia selain ISLAM yang membawa kedamaian dan keselamatan di muka bumi. Tragedi Monas menunjukkan bahwa kita dalam membangun bangsa masih harus secara terus-menerus belajar untuk memaknai dan menyakini bahwa kita ber"agama" harus secara totalitas mampu memberi kedamaian. Kita yang ber'agama" Islam tentu tidak hanya sekedar menjalankan tata aturan Syariat nya saja tapi coba mari kita tingkatkan pada tataran Tarekat, Hakekat dan terus pada tingkatan Ma'rifat. PASTI tidak akan juga terjadi kekerasan demi kekeran di Republik tercinta, AMINAtau kita coba renungkan kembali bahwa PANCASILA dalam penggaliannya oleh para tokoh Islam lebih terasa nuansa isi ke Islam an yang harus diimplementasikan dalam sejarah bangsa sampai akhir atau seribu windu lamanya. Bahwa Pancasila digali dengan Menjamin Keberagaman yang ada. Apalagi kita sebagai umat Islam tentunya mampu membumikan ajaran TUHAN YME dengan mengedepankan konsep UKHUWAH SEJATI berupa :1. Ukhuwah Islamiyah = persaudaraan sesama umat Islam; 2. Ukhuwah Wathoniyah = persaudaraan sesama anak bangsa; 3. Ukhuwah Basyariyah = persaudaraan sesama anak manusia yang berbeda agama.Tinggal kita apakah masih mau hidup berbangsa dan bernegara di Republik tercinta ini dengan dasar PANCASILA dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip Bhinneka Tunggal Ika atau kita mau BIKIN NEGARA ISLAM ?
Sejak paham-paham Transnasional seperti Liberalisme dan anak cucunya dari Barat maupun paham-paham dari Timur Tengah seperti Salafi, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslimin yang menjelma pada gerakan-gerakan yang masuk pada Partai Islam yang membuat jargon sebagai Partai Dakwah, Tarbiyah,Jamaah Islamiyah sangat terasa bahwa PANCASILA sedang mengalami ujian kembali sebagai perekat bangsa.
Ataukah kita mau mengisi nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ibarat segelas air putih yang diberi setetes gincu ataukah segelas air putih yang diberikan setetes garam seperti yang diungkapkan oleh Bung Hatta di tahun 1962 saat kelompok Salman dari ITB (Kang Imadudin dkk) datang menemui Bung Hatta kenapa Beliau selalu mengumandangkan tentang Persatuan dan Kesatuan dan nilai-nilai kebaikan bukan berbicara tentang islam. Islam harus mampu mengisi kehidupan dan dirasakan oleh masyarakat tanpa harus membuat Negara Islam atau kalau sekarang dengan lahirnya Perda-Perda yang menonjolkan paham agama tertentu yang justru lebih merendahkan derajat Kitab Suci dari agamanya.
Juga seperti Moh.Natsir tokoh Masyumi yang sampai sekarang sebagai Begawan para politisi Islam juga telah mengungkapkan bahwa Pemerintahan boleh silih berganti, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia harus tetap kuat dan utuh. Jadi sudah cukup jelas bahwa para petualang yang mengatasnamakan kelompok yang membawa panji-panji Islam dengan jalan kekerasan SANGAT BERTENTANGAN dengan para pendiri bangsa ini. Lebih baik dalam menginginkan sesuatu jalankan dengan cara-cara yang beradab jangan cara-cara yang biadab. Kekerasan demi kekerasan sejak 10 tahun ini dipertontonkan dan masalah mau memaksakan dengan mendirikan Khilafah Islamiyah di negeri yang multi kultur.
Oleh karena itu Wahai Saudara-Saudarku sebangsa dan setanah air mari kembali kepada DASAR NEGARA KITA PANCASILA, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika serta sudah saatnya mari kita kembali berkarya sesuai keahlian masing-masing guna mengentaskan kemiskinan dan keterpurukan bangsa.
Salam damai dari segala penjuru mata angin

TOPARI, S.Sos.
Ketua DPD Pemuda Demokrat Indonesia Provinsi Banten